Samarinda (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Daerah Kalimantan Timur (Kaltim) menilai, skema Reduce Emissions from Deforestration and Degradation (REDD) tak lepas dari strategi World Bank (Bank Dunia) dan beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) besar.
"Mereka mengambil keuntungan atas pengelolaan hutan karbon di Indonesia, khususnya Provinsi Kaltim," ungkap Direktur Eksekutif Walhi Kaltim Isal Wardhana, kepada ANTARA News, di Samarinda, Sabtu.
Ia menjelaskan, skema REDD yang dikembangkan tidak terlepas dari kekuasaan Bank Dunia dalam program GFA (Global Forest Alliance) untuk memuluskan agenda kehutanannya yang dikeluarkan pada tahun 2002, dengan penekanan kuat pada pendanaan iklim.
Hasil utama yang diharapkan dari GFA itu menurut dia, yakni meningkatnya intervensi dan pendanaan Bank Dunia di sektor kehutanan di negara-negara berkembang, katanya.
"Konsep GFA sendiri pada prinsipnya telah dikonsultasikan oleh organisasi konservasi utama dan besar internasional di Washington DC, termasuk World Wild Foundation (WWF), The Nature Conservancy (TNC) dan Conservation International (CI)," kata Isal Wardhana.
Bank Dunia dan LSM besar akan menciptakan GFA dengan tujuan khusus menangkap potensi dana-dana besar untuk perubahan iklim termasuk melalui Forest Carbon Partnership Facilities (FCPF), dana biocarbon (penanaman hutan kembali) dan system pembayaran atas "jasa lingkungan" berbasis pasar.
"Jadi Skema REDD hanya menguntungkan `makelar-makelar` dan `penadah-penadah` karbon yang menjual hutan tropis Kalimantan Timur, " ungkap Direktur Eksekutif Walhi Kaltim itu.
REDD atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan, kata Isal Wardhana hanya menjadi "momok" bagi solusi Perubahan Iklim (Climate Change).
Skema ini tidak akan menyelesaikan persoalan dalam kerangka besar "keadilan iklim" bahkan akan menimbulkan masalah baru. "REDD harus dilihat dari berbagai sisi termasuk skema pendanaan dan pengelolaan secara global sampai dengan tingkat lokal (korban dari skema REDD)," katanya.
Ia menegaskan, pengajuan proposal REDD oleh pemerintah, merupakan bentuk ketidakmartabatan Provinsi Kalimantan Timur dalam penyelamatan hutan tropis Kalimantan Timur.
"Tidak ada yang bisa dibanggakan jika skema REDD itu diterima Pemerintah Provinsi Kaltim sebab negara utara juga memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pengelolaan hutan mereka dibanding harus menyalurkan dananya ke Indonesia termasuk Kaltim untuk menjaga kelestarian hutannya," katanya.
Hutan tropis di Kalimantan Timur, menurut dia, hanya akan dijadikan pembuangan dan tempat "prostitusi" ekologis bagi kepentingan industri mereka sebab di satu sisi negara-negara utara itu juga terus membuang dan memproduksi karbonnya dalam jumlah yang besar.
Skema REDD itu menurut Direktur Eksekutif Walhi Kaltim itu, tidak lebih dari upaya menutup akses masyarakat sekitar hutan untuk mengambil manfaat dari hutan berdasar hukum adat dan kearifan tradisional yang mereka warisi secara turun-temurun, serta kesempatan mensubsidi sektor privat dan korporasi, yang pada hakikatnya merekalah yang bertanggung jawab atas deforestasi di Kalimantan Timur.
REDD kata Isal Wardhana hanya akan menjadi alat konsolidasi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan serta merupakan wujud penyederhanaan dan kedangkalan pikir.
Hutan adalah ekosistem yang kompleks, dan memiliki nilai penting bagi kehidupan umat manusia, lebih dari sekadar transaksi ekonomis jual-beli karbon. "Sehingga Jeda Tebang Hutan Kalimantan Timur adalah bagian dari sebuah solusi dalam kerangka pencegahan dampak perubahan iklim yang dirasakan di Kalimantan Timur," katanya.
Selama ini lanjut dia, hutan yang terselamatkan di Provinsi Kaltim yakni hutan yang dijaga oleh kelompok masyarakat adat.
"Jadi, jika skema REDD itu diberlakukan, akan sangat mengancam keberadaan masyarakat adat yang selama ini menjaga kelestarian hutan," ujar Isal Wardhana.
Pemerintah Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang mengeluarkan kebijakan nasional yang mengatur mengenai perdagangan karbon dan REDD. Melalui UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Permenhut No. 30 tahun 2009 tentang REDD dan Permenhut No. 36/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan.
"Pada Permenhut itu tidak mengatur secara spesifik tentang kepastian status kawasan hutan dan hanya mengatur masalah karbon sehingga menurut hemat kami Permenhut itu lemah," ungkap Direktur Eksekutif Walhi Kaltim tersebut (*)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009