Di kabupaten itu, hingga Oktober 2009, tercatat sebanyak 674 orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
"30 persennya adalah kaum perempuan. Kami berusaha menekan angka penularan HIV/AIDS ini dengan melakukan pendekatan terhadap masyarakat dalam hal ini laki-laki yang berisiko tinggi tertular," katanya.
Kalangan pekerja seksual sebagai jembatan penularan, juga harus ditata, selain melakukan pendekatan massal lewat diskusi kelompok secara umum dan tidak menitikberatkan pada kaum ODHA saja.
Ia mengemukakan, diskriminasi ODHA hampir tidak ada lagi, bahkan banyak ODHA yang kembali bekerja seperti biasa.
"Pandangan masyarakat saat ini sudah berubah sejak ODHA menggunakan obat antiretroviral (ARV)," kata Wirata.
Ia mengatakan, jumlah pendamping yang terbatas membuat para ODHA lebih proaktif dimana saat ini setiap satu orang mendampingi sekitar 10 ODHA.
"Wilayah Buleleng luas, tidak mungkin satu pendamping setiap hari mendatangi kliennya," katanya.
Ia mengatakan, penderita HIV/AIDS di Buleleng, disebabkan kasus heteroseksual yaitu sekitar 95 persen, sisanya pemakai narkoba jarum suntik dan penularan ibu hamil ke bayi.
"Saat ini di Buleleng untuk bayi yang tertular dari ibunya sebanyak tujuh kasus, tapi yang masih bertahan hidup sampai sekarang ada dua orang," kata dia.
Ia menambahkan, ibu hamil yang menularkan virusnya ke bayi karena tidak mengikuti program jaringan pencegahan HIV dari ibu ke anak atau yang biasa disebut dengan "preventing mother-to-child transmission" (PMTCT).
Ia mengemukakan, tingginya kasus HIV/AIDS yang muncul tidak mencerminkan angka kasus yang sebenarnya, melainkan seperti fenomena gunung es karena kasus yang belum terungkap jumlahnya masih sangat banyak daripada yang di permukaan.
"Kita terus berusaha untuk menekan kasus ini agar tidak semakin meluas. Saya juga meminta kepada teman-teman ODHA, karena mereka yang mempunyai virus maka diharapkan tanggungjawabnya untuk tidak menularkan ke orang lain," ujarnya. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009