New York (ANTARA News) - Harga minyak ditutup bervariasi pada Jumat waktu setempat, di tengah kekhawatiran seruan Dubai untuk membekukan pembayaran utang perusahaan utama milik negara dapat menggagalkan pemulihan global dari resesi.

Seperti diberitakan AFP, kontrak berjangka utama New York, minyak mentah light sweet pengiriman Januari, menetap di 76,05 dolar per barel, menurun 1,91 dolar dari penutupan Rabu. Pasar-pasar AS tutup pada Kamis untuk liburan "Hari Thanksgiving".

Di London, minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Januari, yang telah kehilangan 1,45 dolar pada Kamis, naik 19 sen menjadi 77,18 dolar per barel.

Pada masa pra-perdagangan pasar New York, acuan kontrak telah merosot ke 72,39 dolar, tingkat terendah sejak awal Oktober. "Pasar tampaknya sudah tenang, tetapi jelas tidak sepenuhnya terbalik," kata Ellis Eckland, analis independen.

"Minyak adalah aset risiko terkemuka, dan merupakan salah satu aset untuk dijual lagi di tengah kekhawatiran bahwa sistem keuangan mungkin memiliki beberapa masalah," katanya.

"Satu-satunya alasan untuk penurunan harga minyak dapat diringkas dalam satu kata: Dubai," kata Tamas Varga, seorang analis di PVM Oil Associates.

"Jika resesi 2008 dimulai oleh bank overlending (pinjaman berlebihan) maka saat ini masalah utang di Dubai merupakan sebuah tanda peringatan besar bahwa kita tidak keluar dari hutan.

"Bank-bank kehabisan uang tunai memiliki pengaruh pada setiap aspek kehidupan, membawa harga saham dankomoditas turun dan menguatkan dolar. Ini persis apa yang terjadi sekarang," tambah Varga.

Pemerintah Dubai Rabu malam mengumumkan bahwa Dubai World, konglomerat pembawa bendera kota negara, adalah meminta sebuah moratorium enam bulan pada pembayaran kembali 59 miliar dolar utangnya.

"Ketidakpastian mengenai apakah Dubai merupakan satu-satunya, atau apakah ini merupakan efek domino jatuh pertama dalam apa yang bisa menandakan penyebaran krisis keuangan ke emerging market," kata analis Barclay Capital dalam catatan kliennya.

"Memang, harga minyak bisa pada belas kasihan dari pesimisme keuangan yang diperbarui sampai kejelasan lebih lanjut mengenai situasi Dubai muncul."

Mike Fitzpatrick dari MF Global mengatakan reaksi pasar terhadap berita Dubai mirip dengan kekacauan yang dipicu oleh runtuhnya bank investasi Wall Street Lehman Brothers pada September 2008.

"Ini mengguncang kepercayaan pada pasar keuangan dan meningkatkan momok menular yang dapat memicu gelombang kedua dalam krisis kredit," katanya.

"Ini akan menjadi sebuah pengembangan mengganggu bank internasional yang semakin tergantung pada pasar Timur Tengah sebagai sumber bisnis."

"Beberapa orang mungkin menyimpulkan bahwa lebih banyak minyak datang ke pasar untuk meningkatkan pendapatan, tetapi bahkan lebih jelas adalah volume investasi modal yang melarikan komoditas di seluruh papan ke dolar yang dianggap aman." (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009