Apalagi, yang akan masuk bursa saham adalah anak perusahaan di bawah PertaminaJakarta (ANTARA) - Pakar hukum internasional Universitas Indonesia Profesor Hikmahanto Juwana menyatakan rencana initial public offering (IPO) anak usaha atau subholding PT Pertamina (Persero) tak perlu dipersoalkan karena berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001, kedudukan Pertamina sama seperti kontraktor asing yang hanya sebagai pemain bisnis.
"Sebagai pelaku bisnis, maka rencana IPO subholding Pertamina, sebagai salah satu cara pendanaan BUMN tersebut, tak perlu dipersoalkan. Apalagi, yang akan masuk bursa saham adalah anak perusahaan di bawah Pertamina," katanya di Jakarta, Senin.
Baca juga: Peneliti Indef: IPO "subholding" akan untungkan Pertamina
Ketika perusahaan-perusahaan luar negeri yang beroperasi di Indonesia diperbolehkan go public, lanjutnya, namun mengapa rencana IPO anak perusahaan Pertamina justru dipermasalahkan.
Menurut dia, hal penting harus dijaga adalah level induk atau holding Pertamina agar saham negaranya tetap 100 persen.
Kedudukan Pertamina berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001, tambahnya, adalah sebagai persero dengan negara memiliki 100 persen saham, sedangkan di level bawahnya, BUMN tersebut juga memiliki anak perusahaan seperti PT Pertamina Hulu Energi dan PT PGN Tbk.
"Kalau kita lihat, PGN juga sudah go public. Bahkan, sebelum berada di bawah Pertamina, yaitu ketika masih di bawah negara, PGN juga sudah go public. Mengapa dulu tidak dipermasalahkan?" ujarnya melalui keterangan tertulis.
Menurut Hikmahanto, saat ini banyak perusahaan migas dunia yang sudah IPO, bahkan tidak sedikit di antaranya, juga beroperasi di Indonesia seperti Saudi Aramco pada 2019, selain itu ExxonMobil.
"Tujuannya, untuk mengurangi biaya pemerintah dalam menjalankan perusahaan. Begitu juga Pertamina. Kalau di bawah ini (anak perusahaan) kurang duit, masa minta ke negara lagi? Beban kan," katanya.
Sementara itu, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan rencana IPO subholding Pertamina hanya salah satu opsi. Hal ini tak lepas dari aspirasi pemegang saham bahwa Pertamina harus melakukan pengembangan bisnis.
Dalam enam tahun ke depan, selain memperkuat bisnis, Pertamina diharapkan juga bisa beralih ke energi terbarukan yang membutuhkan belanja modal 133 miliar dolar AS.
Terkait kebutuhan capex tersebut, imbuh Nicke, Pertamina sudah melakukan pemetaan, yang hasilnya, 47 persen bisa diperoleh dari kemampuan internal, 15 persen dengan equity financing, 10 persen dari project financing, dan 28 persen dari external fund.
"Untuk yang eksternal ini ada berbagai cara, yaitu bond, pinjaman perbankan dan IPO. Jadi IPO hanya salah satu cara, dengan plus dan minusnya," katanya.
Menurut dia, untuk bond berpotensi mengalami hit pada debt to equity ratio dan yang namanya pinjaman harus dikembalikan.
Sedangkan IPO lebih fleksibel, karena Pertamina tidak terdampak dari dept to equity ratio tadi. Jadi tidak harus mengembalikan pokok dari pinjaman.
Rencana IPO tersebut, menurut dia, tak lepas dari restrukturisasi bisnis Pertamina guna menjawab tuntutan global megatrend di bidang energi.
Untuk itu, lanjut Nicke, Pertamina menetapkan strategi jangka panjang yaitu akan mengoptimalkan potensi-potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia dan menggunakan pasar domestik sebagai tulang punggung pertumbuhan Pertamina ke depan.
Baca juga: Yusril: IPO Subholding Pertamina sesuai konstitusi dan perundangan
Baca juga: Soal IPO anak usaha Pertamina, Nicke: Ini bukan pelepasan saham negara
Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020