"Kami minta pemerintah dan Presiden untuk benar-benar mewujudkan pemberantasan mafia hukum, karena wacana ini bukanlah barang baru, namun sebelumnya hanya sebatas untaian janji saja," kata Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M Zen di Jakarta, Rabu.
Menurut Patra, mafia peradilan bisa diberantas, asal dilakukan dengan kesungguhan.
Dikatakannya, pengakuan adanya mafia peradilan merupakan langkah awal yang baik karena selama ini aparat penegak hukum seringkali menolak keberadaannya.
"Mafia peradilan seperti ada dan tiada. Ia bisa dicium, namun sulit diraba," katanya.
Dikatakannya, untuk memberantas mafia peradilan setidaknya ada tiga langkah yang harus dilakukan. Pertama, diperlukan pengawasan masyarakat dan perlindungan saksi atau korban.
Menurutnya, perlindungan bagi saksi penting agar tidak justru dikriminalkan. Ia mencontohkan kasus Endin Wahyudin, pengacara yang mengaku pernah memberi uang ke majelis hakim yang menangani perkara kliennya namun justru dilaporkan balik ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Endin akhirnya diadili dan divonis tiga bulan penjara dan percobaan enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2001. Sedangkan dugaan penerimaan uang menguap tanpa bekas.
Demikian pula dengan Ary Muladi yang ditolak untuk mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan alasan yang bersangkutan berstatus tersangka. Padalah Ary adalah saksi kunci dalam kasus hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Selanjutnya, kata Patra, pemberantasan mafia hukum tidak akan berjalan tanpa nakhoda, tanpa masinis yang membawa gerbong gerakan itu dengan komitmen tinggi dan konsisten.
"Jalan keluarnya tidak dapat ditawar yakni keteladanan pemimpin," katanya.
Upaya pemberantasan mafia hukum, lanjut Patra, harus dipimpin oleh pejabat dan pemimpin pilihan karena melawan kejahatan kolektif.
Indonesia tercatat pernah memiliki para pemimpin yang keras, tegas, dan berani seperti Yap Tian Hiem, R Soeprapto, Baharuddin Lopa, Ismail Saleh, Ali Sadikin, dan Hoegeng Imam Santoso.
Syarat ketiga adalah pengembangan sistem penggajian yang layak bagi aparat penegak hukum. Menurut Patra, gaji aparat penegak hukum dapat naik secara pararel dengan keberhasilannya memberantas tindak pidana korupsi dan memberantas mafia hukum.
Sebagai contoh, jika sistem informasi dan pengelolaan uang pengganti kerugian negara dapat dilaksanakan dengan profesional, maka tentu masyarakat tidak keberatan untuk mengembalikan lagi ke aparat dalam bentuk kenaikan gaji.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009