Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah memperketat prosedur pemberian obat antifilariasis massal untuk pencegahan penularan penyakit kaki gajah (filariasis) di daerah-daerah endemis.
Menurut Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Departemen Kesehatan Rita Kusriastuti di Jakarta, Rabu, pendataan dan pemindaian sasaran program pemberian obat antifilariasis massal selanjutnya dilakukan dengan lebih teliti.
"Kader harus mendata secara teliti untuk memastikan obat hanya diberikan kepada orang yang tepat, yang betul-betul. Tidak boleh diberikan kepada orang tua yang usianya lebih dari 64 tahun, anak-anak, perempuan hamil dan orang yang sedang sakit. Kalau sakit harus ditunda sampai yang bersangkutan sembuh," katanya.
Pemindaian sasaran pemberian obat antifilariasis massal, kata dia, juga tidak hanya akan ditumpukan pada kader kesehatan.
Ia mengatakan pemerintah akan mengerahkan dokter, bidan dan paramedis terlatih untuk membantu posko pelaksana eliminasi kaki gajah yang ada di puskesmas-puskesmas.
"Petugas kesehatan akan memberikan pendampingan dengan siaga di posko atau keliling untuk mengawasi pelaksanaan. Jadi, kalau ada sasaran yang butuh pemeriksaan lebih lanjut kader bisa langsung merujuknya ke puskesmas," katanya.
Hal itu, menurut dia, dilakukan karena kemampuan kader kesehatan terbatas, mereka tidak punya keterampilan untuk memeriksa dan mendiagnosis gangguan kesehatan warga yang mungkin membuat mereka tidak boleh mengonsumsi obat antifilariasis.
Pemerintah, ia menjelaskan, juga akan meningkatkan kemampuan kader kesehatan yang menjadi anggota tim pelaksana eliminasi penyakit kaki gajah.
"Jadi pemberian obat nanti hanya boleh dilakukan oleh kader kesehatan yang sudah mengikuti pelatihan penanggulangan filariasis dan mendapat sertifikat serta menjadi bagian dari Tim Pelaksana Eliminasi," katanya.
Ia menambahkan, dokter spesialis anak dan penyakit dalam juga disiagakan di rumah sakit supaya bisa turun langsung ke lapangan jika ada kejadian luar biasa setelah pemberian obat antifilariasis massal.
Dilanjutkan
Rita menjelaskan, pemerintah akan tetap melanjutkan program pemberian obat antifilariasis massal kepada masyarakat di daerah endemis untuk menuntaskan upaya pemberantasan penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang menular melalui gigitan nyamuk itu.
"Kami akan bergerak ke 84 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, termasuk di Kalimantan dan Jawa," katanya tentang kelanjutan upaya pemberantasan penyakit yang menimbulkan cacat tetap tersebut.
Beberapa waktu lalu, delapan warga Kabupaten Bandung, Jawa Barat, meninggal dunia tak lama setelah pemberian obat antifilariasis massal sehingga kematian mereka kemudian dikaitkan dengan upaya pencegahan penularan penyakit kaki gajah.
Pemerintah kemudian membentuk Komite Ahli Pengobatan Filariasis Indonesia (KAPFI) untuk melakukan penyelidikan.
Menurut hasil analisis KAPFI, setelah pemberian obat massal 10-16 November 2009 di Kabupaten Bandung dari delapan orang yang dilaporkan meninggal dunia setelah pemberian obat massal, tiga di antaranya tidak mengonsumsi obat antifilariasis dan lima orang lainnya meninggal dunia karena masalah lain yang diduga serangan jantung dan stroke.
KAPFI juga memastikan kematian mereka tidak berhubungan dengan pemberian obat antifilariasis yang terdiri atas diethylcarbamazine citrate (DEC)--obat antifilariasis yang sudah digunakan sejak lama--, albendazol (obat cacing) dan parasetamol (obat penurun panas).
Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih sebelumnya menjelaskan pula bahwa sejak tahun 2002 pemerintah melakukan pemberian obat antifilariasis massal untuk mencegah penyebaran filariasis di daerah endemis, yakni yang lebih dari satu persen penduduknya mengidap mikrofilaria dalam darahnya.
Prosedur pencegahan yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1997 untuk eliminasi filariasis tersebut hingga tahun 2008 juga telah dilaksanakan di 50 negara yang mencakup 496 juta orang.
Negara-negara anggota WHO telah sepakat membebaskan dunia dari kaki gajah tahun 2020 dengan berupaya menerapkan berbagai strategi termasuk pemberian obat massal.
Indonesia pun berusaha memberantas penyakit yang mengakibatkan pembengkakan beberapa bagian tubuh termasuk tungkai kaki bawah, lengan dan alat genitalia itu. Di Indonesia sebanyak 11.699 kasus kronis filariasis ditemukan di 378 kabupaten/kota.
(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009