Padang (ANTARA News) - Pengamat komunikasi dari Universitas Ekasakti Padang, Sumartono, mengatakan, pemanggilan wartawan oleh polisi terkait pemberitaan transkrip rekaman sadapan yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK), pantas dipertanyakan.

"Karena dilakukan secara tiba-tiba, maka masyarakat pantas mempertanyakan ada apa di balik pemanggilan itu," kata Sumartono di Padang, Jumat.

Penulis berbagai buku komunikasi itu mengatakan, sebenarnya sah-sah saja apabila polisi memanggil wartawan untuk didengar keterangannya. Namun tentunya hal itu mesti dijelaskan kepada publik secara terbuka.

"Sepanjang berita media benar dan tidak mencemarkan nama baik, tidak perlu ada kekhawatiran dipanggil penyidik. Kecuali berita yang disiarkan berita bohong," kata Sumartono.

Namun demikian, dia mengingatkan kepada jajaran kepolisian agar tetap proporsional dalam menyikapi pemberitaan media.

"Jangan karena pemberitaan, wartawan selalu dijadikan sebagai saksi," kata dia.

Dia juga menekankan agar jangan sampai terjadi kriminalisasi terhadap pemberitaan karena pers dalam bekerja dilindungi undang-undang.

"Wartawan bekerja untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (right to know) dan hak menyampaikan pendapat. Tujuan pers adalah mendidik masyarakat, memberikan informasi, menghibur dan melakukan kontrol sosial," kata dia.

Polisi melayangkan panggilan kepada pihak Kompas dan Seputar Indonesia terkait pemuatan berita transkrip rekaman percakapan antara Anggodo dengan berbagai pihak pada 4 November 2009.

Redaktur Pelaksana Seputar Indonesia, Nevi Hetaria, memenuhi panggilan polisi pada Jumat.

Adanya pemanggilan dari polisi terkait pemberitaan tersebut, menuai protes dari berbagai kalangan. Kalangan pers dari berbagai media yang tergabung dalam Koalisi Antikriminalisasi Pers akan menggelar aksi unjuk rasa di depan Mabes Polri.

Insan pers menyatakan menentang setiap aksi kriminalisasi pers yang dilakukan siapa pun. (*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009