"Jika belanja pajak dirasakan nyata oleh masyarakat maka ketika aktivitas ekonomi telah pulih, maka rakyat akan suka rela membayar pajak. Oleh karena itu, implementasi belanja secara gesit dan benar menjadi petaruhan tahun 2020," kata pengamat perpajakan CITA Fajry Akbar dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Belanja pajak adalah penerimaan perpajakan yang hilang atau berkurang akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum yang menyasar sebagian subjek dan objek pajak dengan persyaratan tertentu.
Baca juga: Kadin Jatim sosialisasikan stimulus pajak, karena minimnya pemanfaatan
Adapun bentuk belanja pajak meliputi pemberian insentif seperti tax holiday, tax allowance, dan segala bentuk pengecualian atau perbedaan pengenaan perpajakan dari ketentuan umum perpajakan yang berlaku.
Menurut Fajry, tahun 2020 menjadi tahun yang amat pelik bagi kinerja APBN. Pandemi COVID-19 yang datang di awal tahun telah menjadi faktor terbesar dalam memengaruhi seluruh aspek kehidupan. Bermula dari masalah kesehatan, menjadi masalah sosial, ekonomi, dan keuangan di seluruh dunia. Ketidakpastian yang tinggi hingga bayang-bayang resesi menghampiri ekonomi dunia.
Ekonomi Indonesia kuartal I sedikit beruntung karena masih tumbuh positif sebesar 2,97 persen di saat banyak negara tumbuh negatif. Namun itu dinilai hanya permulaan, penentuan sesungguhnya terjadi pada kuartal II. Pemerintah mengestimasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2020 akan merosot, yakni minus 4,3 persen (yoy).
Ia menilai, membuat kebijakan di tengah pandemi tentu tidaklah mudah. Kebijakan seperti pembatasan sosial sekala besar (PSBB), dan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah membuat sebagian besar aktivitas ekonomi tak bergerak.
Baca juga: MK ingatkan tak semua pembayar pajak punya kedudukan hukum
"Namun dibalik itu semua kita berharap ekonomi Indonesia tidak akan mengalami hal yang serupa dengan Singapura di kuartal II-2020. Ekonomi Singapura jatuh sangat dalam hingga negatif 12,6 persen (yoy), jauh meleset dari perkiraan banyak pihak.
Penurunan kinerja ekonomi terlihat dari realisasi APBN 2020 Semester I. Pendapatan negara sebesar Rp811,2 T (47,7 persen) dari target APBN Perpres 72/2020 atau tumbuh negatif 9,8 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu (yoy).
Hal itu disebakan karena penerimaan pajak yang selama ini menjadi penyumbang terbesar turun di semester I-2020 hingga 12 persen (yoy) sedangkan PNBP (pendapatan negara bukan pajak) turun 11,8 persen (yoy). Namun, penerimaan bea dan cukai masih dapat tumbuh positif 8,8 persen.
Pada saat pandemi, belanja negara yang deras menjadi kunci untuk memulihkan ekonomi dan menjaga daya beli masyarakat. Di semester I-2020 terlihat realisasi belanja negara meningkat 3,3 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Bahkan, belanja pemerintah pusat tumbuh 6 persen (yoy).
"Hal ini menandakan pemerintah bekerja lebih keras dan cepat dari biasanya. Pada kuartal III belanja perlu lebih cepat dan tepat. Defisit juga lebih tinggi dari tahun lalu dari 0,85 persen menjadi 1,57 persen. Hal ini tidak mengherankan karena memang butuh ruang untuk mencari pembiayaan," ujar Fajry.
Sementara itu, penerimaan dari pajak menjadi tantang terjal akibat perlambatan kegiatan ekonomi efek COVID-19. Realisasi pajak semester I-2020 sebesar Rp531,7 T (44 persen dari Perpres 72/2020) atau terkontraksi 12 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Hampir seluruh jenis pajak utama mengalami kontraksi. PPh Non migas turun 10,1 persen, PPn dan PPnBM turun 10,7 persen, PBB, dan pajak lainnya turun 18,89 persen, serta yang lebih tajam penurunannya adalah PPh Migas 40,1 persen.
"Kontraksi penerimaan pajak tidak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang melemah namun juga karena pemberian insentif pajak dalam rangka penanganan dampak COVID-19 yang diberikan kepada masyarakat maupun dunia usaha," kata Fajry.
Dari sisi sektoral, penerimaan pajak semua sektor mengalami tekanan, namun tekanan pada Juni masih lebih baik jika dibandingkan dengan Mei. Bahkan sektor transportasi dan pergudangan justru tumbuh positif di Juni 2020 yakni 9,3 persen jika dibandingkan dengan Mei. Hal tersebut menunjukkan pola perubahan konsumsi masyarakat setelah berakhirnya masa PSBB.
"Harapan kami, hal ini dapat menjadi titik awal perbaikan kinerja berbagai sektor penerimaan yang selama ini terhambat karena adanya kebijakan PSBB," katanya.
Lebih lanjut, penerimaan bea dan cukai yang tumbuh positif disokong oleh cukai sebesar 13 persen. Namun, pemerintah tidak bisa menjadikan cukai tumpuan penerimaan untuk ke depannya. Mengingat, pendapatan yang tinggi tersebut berasal dari relaksasi pelunasan pita cukai pada Desember 2019.
Sementara itu, penerimaan cukai Juni sudah mulai menunjukkan perlambatan dibandingkan Mei karena turunnya hasil tembakau.
"Berharap target pajak tinggi tentu bukanlah strategi yang tepat saat sekarang. Meski pemerintah perlu terus berjuang keras untuk menutupi pengeluaran yang besar dan insentif masif yang digelontorkan pemerintah kepada masyarakat, UMKM, dan dunia usaha," ujar Fajry.
Ia menambahkan, langkah-langkah pemerintah atas perubahan kebijakan dalam rangka penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi perlu diapresiasi. Terbaru, pemerintah menerbitkan PMK-86/2020 sebagai pengganti PMK-44/2020, yang memperpanjang dan memperluas klasifikasi lapangan usaha (KLU) atas relaksasi pajak.
Ia berharap, gelontoran fasilitas perpajakan itu dapat direalisasikan dengan tepat, sehingga dapat mendorong optimalisasi kinerja pelaku usaha.
Ke depan, pemerintah juga diharapkan terus berbenah dan mengevaluasi kebijakan insentif yang telah dijalankan.
"Kebijakan yang sudah ada perlu disempurnakan agar lebih menjawab kebutuhan dari pelaku usaha, seperti penyesuaian tarif pajak final, simplifikasi administrasi perpajakan yang terkait hak wajib pajak, dan peningkatan kepastian dalam pemeriksaan dan sengketa pajak," kata Fajry.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020