Tbilisi (ANTARA News/Reuters) - Georgia hari Rabu mendesak bekas republik Sovyet Belarus tidak mengikuti langkah Rusia mengakui kemerdekaan wilayah-wilayah separatis Ossetia Selatan dan Abkhazia.

Belarus mengirim anggota-anggota parlemen ke Georgia dan wilayah-wilayahnya yang memberontak pekan ini untuk mempertimbangkan masalah itu, dan Minsk terpecah antara kesetiaan pada sekutu tradionalnya, Rusia, dan upaya untuk memperbaiki hubungan dengan Uni Eropa yang mendukung Georgia.

Moskow mengakui wilayah-wilayah separatis Georgia -- Abkhazia dan Ossetia Selatan -- sebagai negara-negara merdeka setelah penyerbuan pasukan Rusia ke Georgia tahun lalu.

"Tujuan pihak Georgia adalah untuk menunjukkan bahwa masalahnya bukan mengenai memilih antara Georgia dan Rusia, namun mengenai memilih antara keadilan dan ketidakadilan, antara hukum internasional dan pelanggaran hukum, antara perdamaian dan kekerasan," kata ketua parlemen Georgia David Bakradze setelah bertemu dengan anggota-anggota parlemen Belarus yang mengunjungi Tbilisi.

Presiden Belarus Alexander Lukashenko menyatakan, ia tidak akan bisa ditekan oleh Moskow dalam mengambil keputusan. Hubungan militer dan ekonomi yang erat antara kedua negara itu telah menjadi tegang karena upaya-upaya Lukashenko meningkatkan hubungan dengan Barat.

Anggota parlemen Belarus Sergei Maskovich bungkam ketika didesak wartawan di Tbilisi mengenai apakah Minsk akan mengakui kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia.

"Kami hanya menyelidiki masalah ini," katanya.

Di ibukota Abhazia, Sukhumi, ketua parlemen Abkhazia Nugzar Ashuba mengatakan, tidak ada yang memburu-buru Belarus untuk memberikan pengakuan.

"Kami bangsa yang serius dan memahami bahwa pengakuan ini tidak bisa dan tidak seharusnya terjadi dalam waktu semalam," katanya pada perundingan dengan delegasi parlemen Belarus ketika mengunjungi Abkhazia, seperti dilaporkan kantor berita Itar-Tass.

Kremlin mengakui kemedekaan wilayah-wilayah separatis Georgia yang didukung Moskow itu pada 26 Agustus tahun lalu, beberapa pekan setelah pasukan Rusia mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan.

Hubungan Rusia dengan Barat memburuk setelah perang singkat negara itu dengan Georgia.

Georgia menyatakan, perang itu dan pengakuan Moskow terhadap wilayah-wilayah tersebut sebagai negara merdeka merupakan pencaplokan atas wilayah kedaulatannya.

Pada 27 Agustus, Presiden Rusia Dmitry Medvedev menegaskan bahwa Moskow tidak akan pernah membatalkan keputusannya mengakui Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai negara-negara yang merdeka dari Georgia.

Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus 2008. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.

Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada tahun lalu itu.

Ossetia Selatan dan Abkhazia memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.

Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat.

Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.

Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.

Nikaragua adalah negara pertama setelah Rusia yang memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".

Venezuela pada 10 September juga memberikan pengakuan penuh atas kemerdekaan kedua wilayah separatis Georgia itu.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009