Magelang (ANTARA) - Mengambil kebijakan yang pas, sikap elegan, dan bahkan tindakan harian terukur di tengah pandemi virus corona jenis baru (COVID-19), serasa menggiring kepada keputusasaan. Terkesan tak ada yang sungguh-sungguh benar atau sedemikian salah level parah.

Boleh jadi disetujui bahwa peristiwa pandemi global virus abad ini menjadi cermin penting bagi manusia untuk mesti bagaimana melakoni lanjutan hidup personal dan habitus komunalnya.

Korban virus di dunia terus berjatuhan selama lebih dari setengah tahun terakhir. Komparasi jumlah terpapar, penderita, sembuh, dan meninggal yang disajikan secara terkini saban hari atas dasar data terkumpul, boleh menjadi landasan berpijak, tetapi juga menyulut pertanyaan tentang ketidakpastian terhadap sebagian besar mereka lainnya yang masih berkeliaran tidak terjangkau pendataan.

Belum lagi, setiap saat terasa virus mengitari setiap manusia, bagaikan harimau siap menerkam, karena kepastian temuan antivirus masih belum mendapat tempat dan waktunya.

Kengerian atas virus hadir dengan cepat seiring dengan kerumunan manusia karena pelonggaran pembatasan sosial berskala besar. Lihatlah kerumunan para pesepeda yang sesungguhnya untuk berolahraga, menguatkan imunitas tubuh agar kukuh dari terpaan virus, namun justru riskan menjadikan virus membangun jejak baru. Atau kerumunan di pasar tradisioinal dengan orang-orang yang abai masker dan lengah untuk menjaga jarak.

Sementara itu, perasaan nyaman semu dari ancaman virus sekadar disadari sebatas sergapan sepi dan keluhan boros kuota internet karena lebih banyak berdiam di rumah.

Kesulitan menangkap pemahaman "normal baru" di tengah pandemi kemudian diubah menjadi sodoran istilah terkini, "adaptasi kebiasaan baru", dengan harapan lebih mudah dimengerti untuk selanjutnya dikerjakan atau menjadi jalan melakoni hidup harian.

Pemerintah menyadari kekeliruan penggunaan istilah new normal (normal baru), bahkan sempat mendorong pemangku kuasa di daerah melakukan pelokalan sebutan itu, supaya memudahkan pemahaman masyarakat luas hingga tingkat basis.

Dorongan melokalkan istilah "normal baru" itu pun terkesan tak berlanjut hingga dikeluarkan perubahannya menjadi "adaptasi kebiasaan baru". Provinsi Jawa Barat lebih dahulu menerapkan sebutan itu.

Usai rapat terbatas "Percepatan Penanganan Dampak Pandemi COVID-19" dipimpin Presiden Joko Widodo pertengahan bulan ini, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menjelaskan tentang kesalahan penggunaan istilah "normal baru" itu.

"Setahu saya sudah dipertegas sekarang tidak menggunakan 'new normal' sekarang istilahnya adaptasi dengan keadaan yang baru. Kita tidak perlu ribut dengan istilah lah," kata dia di lingkungan Istana Kepresidenan di Jakarta, Senin (13/7).

Baik normal baru maupun adaptasi kebiasaan baru, sama saja kesannya sebagai mengawang-awang, meskipun maksudnya sudah pasti bahwa orang tidak lagi harus berdiam diri karena ancaman penularan virus. Setiap orang harus berdamai dengan virus dalam aktivitas sehari-hari. Itu pun bukan berarti kalah atas serangan pandemi.

Dalam praktiknya, normal baru ataupun adaptasi kebiasan baru, tak jauh-jauh dari persoalan ketaatan menerapkan protokol kesehatan yang sedemikian detail di berbagai sektor kehidupan. Sampai di situ, titik lemah bangsa Indonesia makin kentara, yakni disiplin yang susah membudaya sejak lama.

Nyaris minim laporan diungkap secara luas terhadap mereka yang sukses melepaskan diri dari terkaman ganas virus. Begitu juga nyaris senyap kisah hidup harian mereka yang pernah berdekatan dengan orang positif virus yang sudah menyuburkan tanah bersejarah di abad pandemi ini. Padahal, sesungguhnya mereka-mereka juga bagian penting dari kumpulan cermin belajar melakoni hidup di tengah paparan COVID-19.

Semua seakan sibuk mengatasi virus dengan data, pikiran, kebijakan, regulasi atas dasar yang bisa dijangkau. Boleh jadi, imajinasi bukan waktu yang tepat menyeruak dalam mengatasi pandemi, meski kehendak yang beririsan dengan imajinasi itu selalu melekat dalam manusia hidup, termasuk kehendak untuk objek manusia yang telah berpulang karena virus.

Kalau protokol kesehatan sebagai gaman manusia dalam adaptasi kehidupan baru, ia bagian dari cermin mengawang-awang untuk mewujudkan kehendak melalui jangkah lelakon harian.

Dalam hal melakoni pemenuhan kepentingan perekonomian dan sekaligus selamat dari terpaan virus, langkah terbaru Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tertanggal 20 Juli 2020 tentang Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Jajarannya pun segera menindaklanjuti untuk sampai pada realisasi pemenuhan kepentingan seluruh masyarakat.


Kisah cermin

Karya sastra Jawa "Centhini" (Suluk Tambangraras) pada 1814 yang digali lagi oleh penulis Elizabeth D. Inandiak (Prancis) menjadi terjemahan buku "Centhini, Kekasih yang Tersembunyi" (terbitan pertama 2015 oleh KPG), antara lain berkisah tentang cermin di tangan orang bodoh dan berilmu.

Barangkali tembang ke-87 "Centhini" tentang cermin itu presisi sebagai gaman batin setiap orang saat ini melakoni adaptasi kebiasaan baru, yang bukan hanya sebatas perekonomian, di tengah pandemi abad ini.

Pada malam ke-16 bulan madu Amongraga dan Tambangraras, sang suami yang salah satu keturunan Sunan Giri itu memenuhi permintaan istrinya yang putri pemimpin karismatik Padepokan Wanamarta, Ki Panurta, untuk bertutur tentang cermin dan spiritualitas.

Dikisahkan, tentang orang bodoh ingin mendaki gunung. Ia meletakkan cermin raksasa di gunung itu, lalu mengira dengan demikian dapat lebih baik melihatnya. Akan tetapi, yang dilihat ternyata dirinya sendiri yang sangat besar di cermin seukuran gunung tersebut.

Sedangkan bagi orang berilmu, untuk mendaki gunung akan meletakkan cermin di hatinya dan di sana ia akan melihat pantulan kebesaran gunung itu serta sungai-sungainya yang paling rahasia.

"Dengan ilmulah orang belajar mengilapkan cermin agar memberikan pantulan yang paling sesuai dengan gunungnya. Bila cermin berdebu atau retak, gunung pun akan berdebu retak. Cermin yang membedakan," demikian penggalan kisah "Centhini" dalam tembang itu.

Di tengah pandemi, setiap orang setiap waktu diajak becermin, antara lain tentang penting atau tidak waspada atas serangan global virus, taat atau abai terhadap protokol kesehatan. Bercermin juga untuk menyadari diri sebagai pembawa virus atau sekaligus riskan tertular virus.

Kalau yang muncul di cermin berupa bayangan besar seseorang yang becermin, mungkin boleh disilakan berkesimpulan bahwa pandemi sebagai omong kosong, lalu abaikan ancamannya.

Tetapi, andaikan seseorang dengan ketekunan membarui informasi pengetahuan dan keilmuan tentang virus itu bercermin, yang muncul di cermin saat ini mungkin pantulan rahasia besar pandemi.

Lain lagi persoalannya, jika orang tidak setia merawat cermin kehidupan dirinya, apapun perkembangan keadaan, pantulan cermin diri kiranya jauh dari presisi realitas.

Cermin diri itu, boleh jadi sebagai orkestrasi ilmu pengetahuan dan teknologi, ajaran adikodrati dan laku spiritualitas, pergaulan hidup sosial, pemahaman regulasi, kesehatan jiwa dan raga, kekuatan karakter, kedewasaan berpikir, kemampuan mengelola emosional, serta ketajaman nurani.

Semoga saja benar, bahwa antivirus yang hingga saat ini masih harus ditemukan para peneliti di berbagai belahan dunia, kelak menjadikan pantulan di tangan cermin presisi dengan sosok yang bercermin.

Dalam adaptasi kebiasaan baru sekarang ini, silakan lihat yang muncul di cermin! Bayangan orang presisi dengan sosok COVID-19. Alias hati-hati, sekarang masih pandemi!

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020