Jakarta (ANTARA News) - Pilihan SBY dalam mengambil keputusan terkait masalah Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dan Polri, yaitu antara melaksanakan atau mengabaikan rekomendasi dari Tim 8 memiliki konsekuensi yang sama rumitnya.
"SBY dihadapkan pada buah simalakama. Jika SBY mengabaikan n rekomendasi Tim 8, SBY akan melawan arus opini publik," kata pengamat politik Universitas Paramadina, Burhanuddin Muhtadi, di Jakarta, Selasa.
Burhanuddin mengatakan, Tim 8 telah merebut simpati publik dengan rekomendasi sela dan `final remark` yang mengakomodasi rasa keadilan publik.
Menurut dia, Tim 8 terbukti tidak terjebak pada pendekatan legal formalistik, bahkan berjasa dalam memulihkan citra SBY yang sebelumnya terkesan lamban dan normatif dalam menyikapi kasus KPK vs Polri.
Tapi, lanjutnya, jika SBY enggan melaksanakan rekomendasi Tim 8, SBY akan dianggap mengabaikan tim yang ia bentuk sendiri.
"Itu sama saja seperti peribahasa menepuk air didulang, memercik ke muka sendiri," kata peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) itu.
Sedangkan di lain pihak, nilai dia, jika SBY melaksanakan rekomendasi Tim 8, beberapa oknum polisi dan jaksa potensial menjadi `whistle blower` yang bisa saja menyeret nama-nama baru.
"Bagaimanapun kapolri dan jaksa agung tidak mau dipersalahkan," ujarnya.
Intinya, lanjutnya, SBY harus menuntaskan `unhealthy rivalry` atau persaingan tidak sehat antara KPK, polisi dan kejaksaan dengan menyelesaikan akar persoalan.
Melaksanakan rekomendasi Tim 8, tandasnya, adalah `entry point` atau jalam masuk SBY untuk memulihkan kepercayaan publik bagi reformasi institusi penegak hukum.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009
publik juga terlalu menilai berlebih lebihan sehingga yg benar menjadi yang salah,dan yang salah menjadi benar,kalo publik di jadikan pengadilan massa,bagaimana proses peradilan kita,kita juga harus dukung, polri, kejaksaan dan kpk untuk pembratasan korupsi,dan biarlah pengadilan yg memutuskan