"Potret itu menggambarkan betapa tinggi persoalan kesehatan jiwa pada anak remaja pada periode COVID-19 kalau tidak diantisipasi dengan cepat," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes Fidiansjah dalam konferensi pers bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) COVID-19 di Graha BNPB, Jakarta, Senin.
Ia mengatakan besarnya persoalan terkait kesehatan jiwa selama COVID-19 tersebut dapat dilihat dari hasil studi penilaian cepat dampak COVID-19 dan pengaruhnya terhadap anak Indonesia yang dilakukan oleh lembaga masyarakat Wahana Visi Indonesia pada Mei 2020.
Baca juga: Dede Yusuf minta sistem PJJ tidak memakan waktu yang lama
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa proses belajar mengajar yang dilakukan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan hanya sekitar 68 persen anak yang mempunyai akses terhadap jaringan.
"Berarti 32 persennya tidak mendapatkan sarana tersebut," katanya.
Dampak dari keterbatasan anak terhadap jaringan tersebut menyebabkan mereka harus belajar secara mandiri tanpa pendampingan guru.
"Dan itu menimbulkan satu dampak, dengan 37 persen anak tidak bisa mengetahui waktu belajar karena tadinya rutin belajar lalu dia harus belajar mandiri," katanya.
Kemudian, 30 persen di antaranya juga mengalami kesulitan untuk memahami pelajaran secara mandiri karena tidak ada pendampingan dari guru.
Baca juga: Rektor UT: Perguruan tinggi harus tangkas hadapi perubahan
Sementara itu, 21 persen anak bahkan dinilai tidak dapat memahami instruksi guru berdasarkan proses belajar daring.
Selain itu, dampak psikososial dari pembelajaran yang dilakukan selama pandemi juga, menurut dia, cukup mengkhawatirkan.
"Ada 47 persen anak itu bosan tinggal di rumah. Kemudian 35 persen anak khawatir akan ketinggalan pelajaran karena tidak seperti biasa, dia tidak mengikuti pelajarannya," katanya.
Berikutnya, 34 persen anak merasa takut karena COVID-19 walaupun sudah berada di dalam rumah, dan 20 persen anak merasa rindu untuk bertemu teman-temannya.
Sementara itu, 10 persen anak lainnya merasa khawatir tentang penghasilan orang tua mereka yang menurun akibat pandemi COVID-19.
"Jadi (mereka) ikut berpikir," katanya.
Data lain yang ia sampaikan juga menyebutkan bahwa 11 persen anak mengalami kekerasan fisik karena proses belajar yang tidak lazim. Sedangkan 62 persen anak juga tercatat mengalami kekerasan verbal.
Baca juga: Paket data internet dikeluhkan mahal untuk PJJ, ini kata Kominfo
Baca juga: Mendikbud tegaskan tak ada rencana permanenkan PJJ
Baca juga: Kemendikbud siapkan modul pembelajaran untuk pendidikan jarak jauh
Pewarta: Katriana
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020