Samarinda (ANTARA News) - Mungkin bagi kebanyakan orang, apa yang dlakukan Suratno, pengantar surat KONI Kalimantan Timur (Kaltim), mengkliping koran adalah tidak aneh.
Namun, mengumpulkan koran setiap hari bagi pria berusia 63 tahun itu memiliki arti tersendiri.
"Saya megumpulkan koran sejak 1981. Saat itu, saya masih berstatus pegawai di bagian `cleaning service` di kantor KONI Kaltim," kenang Suratno.
Walaupun hanya tukang bersih-bersih, namun tekad Suratno untuk terus menambah pengetahuan dengan membaca koran, tidak pernah surut.
"Dengan membaca, kita jadi tahu dan dari tahu itulah, kita tidak mudah dibodohi orang," katanya.
Bagi staf pengantar surat KONI Kaltim itu, mengumpulkan koran setiap hari, sudah menjadi kebutuhan.
"Rasaya seperti ketinggalan informasi jika tidak membaca berita setiap hari. Karena belum mampu beli koran, saya hanya mengumpulkan koran dari kantor KONI setelah dibaca oleh para pengurus," ungkap Suratno.
Bahkan saking tekunnya ada beberapa berita korupsi yang digunting kemudian `dilaminating` (dibungkus dengan plastik).
"Semua berita korupsi yang ditulis pak Silaban (redaktur sebuah koran harian di Samarinda) saya laminating. Pokoknya, saya tidak pernah ketinggalan dengan berita-berita-berita yang dibuat beliau," ungkap Suratno.
Pada 1996 silam, Suratno mengaku sempat menolak bayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) setelah membaca dari sebuah koran lokal bahwa terjadi korupsi atas uang PBB itu,
"Bapak terkena denda karena menunggak pembayaran PBB," ungkap Suratno, menirukan kata-kata seorang petugas kantor PBB kala itu.
"Lha, bukan saya menunggak, tetapi saya memang sengaja tidak mau membayar PBB," ungkapnya kepada petugas PBB tersebut.
"Kenapa pak? Itu khan menjadi kewajiban setiap warga negara," ujar petugas itu.
"Jika uang itu jelas masuk ke negara, tidak masalah.Tapi, ternyata setelah saya baca di koran uang itu dikorupsi. Jadi buat apa saya bayar pajak kalau uang saya hanya untuk dinikmati para pejabat," kata Suratno seraya meninggalkan kantor PBB Samarinda.
Kasus korupsi di Indonesia bagi Suratno ibarat penyakit yang sudah `akut` (parah).
"Saya ini masyarakat kecil. Jadi, apa yang saya lihat terkait kasus korupsi, hanya pendapat saja dan tidak akan memberi pengaruh kepada orang-orang di atas (pejabat). Kalau saya lihat, korupsi yang terjadi di negeri kita ini sudah sangat parah dan kalau diibaratkan penyakit sulit lagi disembuhkan," katanya.
"Bagi saya, korupsi itu menular. Susah bukan rahasia, jika seseorang mau masuk pegawai apalagi mau menduduki suatu jabatan harus menyetor sejumlah uang. Jadi, ketika dia bekerja yang dipikirkan bagaimana mengembalikan uangnya itu. Tapi sekail lagi, itu hanya suara rakyak kecil seperti saya ini," ujar Suratno.
Toh, hobi mengkilping koran tersebut ternyata tidak seirama dengan istrinya.
"Banyak koran hasil klipingan koran yang menumpuk di rumah sudah dibuang istri saya. Tapi, sebagian masih tersimpan, khususnya semua berita tentang korupsi," ujarnya.
Guratan di wajah Suratno menyiratkan perjalanan hidup yang dilaluinya cukup keras. Hampir seluruh alis matanya sudah terlihat memutih, namun lekuk ototnya menggambarkan semangatnya yang terus menggelora.
"Lebih sepuluh tahun saya mengayuh sepeda untuk menggatar surat ke berbagai instansi, termasuk surat-surat untuk pengurus KONI Kaltim," kata Suratno.
Dari kedekatannya dengan dunia olah raga itulah Suratno berhasil mewujudkan obsisinya.
"Alhamdulilah, dua anak saya berhasil menjadi atlet bahkan salah satunya yakni Suhartini sempat meraih medali emas pada PON 1996 silam," ujar pria kelahiran Magetan, Madiun, Jawa Timur tersebut.
Di kalangan pengurus KONI Kaltim, Suratno yang kerap dipanggil Pakle (paman) dikenal sangat rajin dan memiliki loyalitas yang tinggi.
"Pakle sangat rajin dan memiliki dedikasi tinggi pada pekerjaannya. Sejak awal berdirinya KONI Kaltim sampai sekarang, pakle sudah mengabdi sebagai pegawai cleaning service," ungkap salah seorang pengurus KONI Kaltim, Muslimin.
Selain rajin, kata Muslimin yang juga Sekretaris Ikasi (Ikatan Anggar Seluruh Indonesia) Pengda Kaltim itu mangatakan, Suratno tak pernah luput membaca koran.
"Saya salut sebab setiap hari saya melihat pakle membaca koran. Sangat jarang orang seperti dia yang rajin membaca koran," kata Muslimin .(*)
Oleh Oleh : Amirullah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009