Semarang (ANTARA News) - Koordinator Jaringan Kerja Layak (Jakerla) Pekerja Rumah Tangga (PRT), Lita Anggraini menilai, nasib PRT di Indonesia tidak jauh berbeda dengan nasib para tenaga kerja wanita (TKW) yang menjadi PRT di negara lain.
"Dalam penelitian yang kami lakukan antara 2004-2008 mencatat setidaknya terjadi 472 kasus pelanggaran hak yang menimpa para PRT di Indonesia," katanya usai diskusi "Pekerja Rumah Tangga juga Pekerja" di Hotel Grand Candi Semarang, Senin.
Bahkan, kata dia, dari 472 kasus yang terjadi tersebut, 105 kasus merupakan kasus penganiayaan atau kekerasan fisik yang dilakukan para majikan kepada PRT. Dalam 18 kasus menyebabkan PRT yang menjadi korban akhirnya meninggal dunia.
"Di mana pun PRT berada tetap rentan mengalami berbagai tindak pelanggaran hak, seperti kekerasan psikis atau kekerasan fisik (penganiayaan), pelecehan seksual, baik berada di dalam negeri dan luar negeri," katanya.
Ia mengatakan, pihaknya juga menemukan ada beberapa pelaku yang berulang kali terlibat atau melakukan tindakan pelanggaran hak terhadap PRT dan sudah pernah menjalani proses hukum, sehingga hukuman yang diberikan terkesan tidak menimbulkan efek jera.
"Satu contoh, kasus kekerasan fisik terhadap PRT bernama Sunarsih di Surabaya pada 2001 lalu yang menyebabkannya meninggal. Nyonya Ita, sang majikan ternyata beberapa kali terlibat kasus penganiayaan serupa, antara lain tahun 1999, 2001, 2003, dan 2005," katanya.
Selain itu, kata dia, banyak kasus pelanggaran menimpa PRT yang tidak terdeteksi, karena pelanggaran yang dilakukan bersifat administrasi berkaitan dengan gaji, antara lain gaji yang tidak dibayar, gaji yang dipotong semena-mena, dan gaji yang tak kunjung naik.
Karena itu, pihaknya mengharapkan adanya pemantauan dan pengawasan yang dilakukan masyarakat di lingkungan PRT bekerja, terutama di tingkat RT atau RW, sebab masyarakat lebih mengetahui kondisi yang terjadi di wilayahnya.
Sekretaris Perkumpulan Studi dan Advokasi Anak Indonesia (Perisai) Semarang, Tasi Denny Septiviant yang juga menjadi pembicara mengatakan, kasus lain yang tidak banyak terdeteksi adalah kasus pelanggaran yang menimpa PRT yang masih di bawah umur.
"Biasanya, para majikan cenderung memilih untuk mempekerjakan anak di bawah umur sebagai PRT dengan pertimbangan lebih mudah dikendalikan dan secara hukum dianggap lemah, dan mereka (majikan, red.) lebih memilih anak perempuan," katanya.
Ia mengatakan, pihaknya telah beberapa kali menemukan berbagai kasus pelanggaran yang menimpa PRT di bawah umur dan melakukan advokasi terhadap kasus tersebut, baik terkait gaji yang belum terbayar hingga penganiayaan dan pelecehan seksual.
"Kasus yang biasanya susah diselesaikan adalah masalah administrasi terkait gaji yang tidak dibayar hingga bertahun-tahun, padahal kasus seperti ini sering terjadi namun tidak banyak diketahui dan dilaporkan oleh para PRT," kata Denny.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009