Ikuti arahan dan patuhi rekomendasi yang disampaikan oleh BPPTKG atau BPBD

Yogyakarta (ANTARA) - Ahli vulkanologi Universitas Gadjah Mada Agung Harijoko meminta masyarakat tidak panik menghadapi aktivitas deformasi berupa penggembungan Gunung Merapi, meski tetap perlu meningkatkan kewaspadaan.

"Tetap tenang dan jangan panik. Ikuti arahan dan patuhi rekomendasi yang disampaikan oleh BPPTKG atau BPBD setempat," kata Agung melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Minggu.

Baca juga: Ganjar: Desa "bersaudara" efektif dalam pengungsian Merapi

Dia menyampaikan bahwa hingga saat ini Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta masih menetapkan status Gunung Merapi pada level II atau Wasapada.

Hal itu, menurut dia, menunjukkan belum ada peningkatan potensi bahaya dari aktivitas Gunung Merapi. Ancaman bahaya masih berada pada radius tiga kilometer dari puncak Merapi.

"BBPTKG menyatakan ada penggembungan di tubuh Merapi yang mengindikasikan ada magma yang bergerak didalamnya, tapi masih lebih kecil dibanding deformasi sebelum erupsi 2010," kata dosen Teknik Geologi UGM ini.

Baca juga: 2 hari gempa vulkanik dangkal, BNPB imbau warga waspada erupsi Merapi

Agung menjelaskan pergerakan magma tersebut bisa berlanjut dengan erupsi. Namun bisa juga tidak berlanjut erupsi.

Apabila terjadi erupsi, maka kemungkinan erupsi yang akan terjadi, kata dia, bisa berupa erupsi efusif yang membentuk kubah lava atau berupa erupsi eksplosif dengan letusan yang kuat.

"Erupsi Merapi bukan baru saja terjadi, tapi sudah berlangsung lama yakni sejak keluarnya kubah lava pada 2018 lalu," kata Kepala Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM ini.

Baca juga: Gunung Merapi keluarkan guguran pada Rabu malam

Dia mengatakan bahwa BBPTKG terus melakukan pemantauan terhadap aktivitas Merapi dengan baik. Namun, dia menilai masyarakat perlu untuk mengetahui bahaya yang ditimbulkan dari erupsi gunung api sebagai upaya mitigasi bencana.

Menurut dia, bahaya utama saat terjadi longsoran kubah dengan volume besar adalah terbentuknya awan panas atau yang dikenal masyarakat Jawa dengan sebutan wedhus gembel. Selain itu juga ancaman abu vulkanik yang bisa menyebabkan gangguan pernafasan.

"Saat terjadi hujan abu, masyarakat diharapkan memakai masker untuk mencegah partikel-partikel abu halus terhirup ke tubuh," kata dia.

Baca juga: Deformasi Gunung Merapi belum ubah jarak bahaya

Setelah erupsi berakhir, Agung berharap masyarakat mewaspadai ancaman lahar dingin saat musim penghujan karena hujan dengan intensitas tinggi akan membawa material vulkanik dari letusan gunung yang berada di lereng gunung atau hulu.

Sebelumnya, Kepala BPPTKG Yogyakarta Hanik Humaida menjelaskan deformasi atau perubahan bentuk gunung berupa penggembungan (inflasi) Gunung Merapi ditunjukkan dengan adanya pemendekan jarak tunjam dua centimeter dalam kurun satu pekan berdasarkan periode pengamatan 26 Juni-2 Juli 2020.

Baca juga: Gubernur Jateng minta masyarakat sekitar Merapi bekerja seperti biasa

Menurut Hanik, deformasi yang terjadi di tubuh gunung merupakan salah satu tanda adanya magma yang naik ke permukaan.

Namun demikian, ia meminta masyarakat tidak perlu panik karena naik atau keluarnya magma ke permukaan merupakan hal yang biasa terjadi di gunung api aktif.

Baca juga: Ganjar berharap Desa Saudara jadi percontohan nasional hadapi bencana

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020