Bandarlampung (ANTARA News) - Seluruh wilayah Indonesia ditargetkan bebas total dari penyakit malaria tahun 2030 mendatang, kata Kasi Standarisasi dan Kemitraan Subdit Malaria Departemen Kesehatan, dr Bangkit T Hutajulu MSc Ph, dalam satu seminar di Bandarlampung, Minggu.
Menurut Bangkit, pemerintah menargetkan wilayah Indonesia timur, yang menjadi daerah endemis terbesar penyakit tersebut, bebas dari nyamuk malaria pada 2030.
"Target bebas nyamuk yang menyebabkan malaria pada setiap wilayah di Indonesia berbeda-beda, dan Indonesia timur menjadi wilayah terakhir yang dinyatakan bebas," ujarnya.
Dia menjelaskan, pada 2010 mendatang, wilayah DKI Jakarta, Bali, dan Batam menjadi wilayah pertama yang ditargetkan bebas malaria.
"Secara fasilitas pendukung dan fisik wilayah, ketiga daerah tersebut paling memungkinkan," kata dia.
Sementara untuk sejumlah wilayah lainnya, seperti Jawa, Nangroe Aceh Darusalam, dan Kepulauan Riau, ditargetkan bebas malaria pada 2015.
Untuk wilayah Sumatra, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, dan Sulawesi, ditargetkan bebas malaria pada 2020. Terakhir wilayah Indonesia Timur, seperti Papua, Maluku, dan NTT, ditargetkan baru akan bebas malaria pada 2030. Indonesia termasuk salah satu wilayah endemis malaria terbesar di dunia.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan, 24 dari 80 jenis nyamuk anofeles yang menjadi vektor penyakit malaria, hidup di Indonesia.
"Endemi malaria memang terbanyak pada negara berkembang di sekitar katulistiwa," kata Bangkit.
Khusus untuk Indonesia, ia melanjutkan, hampir 70 persen dari 400-an kabupaten/kota merupakan daerah endemis penyakit tersebut.
Departemen Kesehatan juga sudah mengembangkan sejumlah upaya dan strategi untuk mewujudkan target bebas malaria.
Upaya dan strategi tersebut adalah meningkatkan cakupan konfirmasi, laboratorium pemeriksaan dan persediaan darah, meningkatkan kualitas pemeriksaan, mengganti regimen dan meningkatkan kualitas pengobatan.
Sementara strategi terakhir adalah meningkatkan kerja sama lintas sektoral dan lintas program.
Dalam seminar "Global Diseses 2nd Continuing Professional Development" pada hari kedua itu dibahas khusus penyakit malaria dengan menampilkan sejumlah pembicara dari Jakarta dan Lampung.
Mereka itu adalah dr Bangkit T Hutajulu MSc.Ph yang membahas "Epidemiologi Malaria Di Indonesia", Prof DR Inge Sutanto yang membicarakan "Screening dan Tata Laksana Malaria", serta dr Haryono SpPD yang membahas "Malaria Dengan Komplikasi", sementara moderatornya adalah dr Ruth Mariva SpS dari RS Imanuel.
Menurut Prof Dr Inge Sutanto, sejauh ini sudah ada peningkatan kualitas pengobatan malaria dengan menggunakan obat gabungan artemisinin CDT, karena penyakit malaria sudah kebal terhadap klorokuin yang selama merupakan obat utama antimalaria.
Prinsip pengobatan malaria adalah melakukan diagnosa dan terapi segera mungkin untuk mencegah komplikasi malaria yang lebih berat, kata dr Haryono SpPD.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009