Tokyo (ANTARA) - Kampanye Jepang bernilai miliaran dolar untuk meningkatkan pariwisata domestik menghadapi pengawasan ketat dengan menteri ekonomi direncanakan bertemu pakar saat kritikus khawatir bahwa tindakan mendorong warga untuk melakukan perjalanan keluar dari Tokyo berisiko menyebarkan virus corona.

Kekhawatiran yang dialami Jepang juga dihadapi negara-negara di seluruh dunia tentang bagaimana menyeimbangkan ekonomi yang kembali hidup setelah terdampak virus corona baru sambil tetap menjaga kesehatan masyarakat.

Menteri Ekonomi Yasutoshi Nishimura akan bertemu dengan para ahli guna membahas program kampanye pemerintah "Go To" untuk mempromosikan pariwisata domestik, sehari setelah Gubernur Tokyo Yuriko Koike mempertanyakan waktu dan metode kampanye itu.

Jepang memang tidak mengalami jenis penyebaran virus corona yang menewaskan puluhan ribu orang seperti di negara lain. Namun, kasus-kasus baru COVID-19, khususnya di Tokyo, telah memicu kewaspadaan. Kota itu meningkatkan peringatan soal virus corona ke tingkat tertinggi.

Gubernur Koike mengatakan Tokyo kemungkinan mendapat tambahan 280 kasus COVID-19 pada Kamis, dan angka tersebut akan menjadi rekor tertinggi harian untuk kota itu.

Juru bicara utama pemerintah, Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga, menyoroti dampak ekonomi yang merusak dari wabah corona di wilayah Jepang tanpa adanya turis asing karena larangan perjalanan diterapkan untuk mencegah penyebaran virus.

"Kami berharap kampanye Go To dapat mendukung pariwisata dan industri makanan dan minuman serta membawa pemulihan sosial dan ekonomi sehingga daerah-daerah di Jepang dapat keluar dari situasi yang parah ini," kata Suga dalam konferensi pers.

Dijadwalkan akan dimulai 22 Juli, kampanye Go To akan memberikan subsidi sebanyak 50 persen kepada para pelancong dalam upaya untuk meningkatkan ekonomi yang bergantung pada pariwisata di luar wilayah populasi utama.

Nishimura mengatakan dia ingin mendengar pendapat panel ahli tentang tindakan pembatasan, seperti mencegah pertemuan besar dan memastikan kelayakan ventilasi dalam alat transportasi.

Pemerintah ingin menghindarkan Jepang kembali ke aturan "tetap tinggal di rumah", yang membantu menahan penyebaran virus tetapi merugikan ekonomi.

Aturan pembatasan sosial telah membuat ekonomi Jepang menyusut pada laju tercepat dalam beberapa dekade tahun fiskal ini.

Sejumlah anggota parlemen oposisi dan yang lainnya telah menyampaikan kekhawatiran bahwa dengan kasus COVID-19 di Tokyo mencapai tingkat tertinggi sejak wabah dimulai, penduduk kota (yang berjalan-jalan) dapat menyebarkan virus ke daerah-daerah yang relatif sedikit terkena corona.

"Saya tidak mengerti mengapa (kampanye wisata) itu tidak bisa ditunda sedikit, atau bisa dibatasi pada daerah tertentu," kata Ryuta Ibaragi, gubernur Okayama yang terletak di bagian barat Jepang, yang hanya memiliki 29 kasus COVID-19 dari total 23.000 kasus infeksi corona di Jepang.

"Berdasarkan situasi dengan tingkat kasus infeksi saat ini, saya benar-benar ingin mereka memikirkan lagi tentang waktu dan metode untuk melaksanakan kampanye tersebut," kata Koike.

Menyoroti kesulitan industri perjalanan, wisatawan asing ke Jepang berjumlah hanya di bawah empat juta pada semester pertama tahun ini, yakni hanya sepersepuluh dari target sebesar 40 juta yang ditetapkan pemerintah untuk setahun penuh.

Sumber: Reuters

Baca juga: Penundaan Olimpiade Tokyo berpotensi diperpanjang jika virus bermutasi

Baca juga: Jepang telusuri penularan corona di teater Tokyo
​​​​​​​

Baca juga: Jepang-AS bahas lonjakan kasus corona di pangkalan militer


Berwisata ke Kuil Sensoji Tokyo

Penerjemah: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020