"Dampak pornografi pada anak adalah kerusakan otak, gangguan emosi, dan masa depan yang suram," kata Diena dalam bincang media yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diikuti secara virtual di Jakarta, Jumat.
Mengutip data dari ECPAT Indonesia, Diena mengatakan sepanjang 2018 tercatat 150 kasus eksploitasi seksual anak dan 28 persen diantaranya adalah pornografi.
Sementara itu, data Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait paparan pornografi pada anak pada 2017 menyebutkan 95,1 persen remaja SMP dan SMA di Jakarta, Yogyakarta, dan Aceh dengan responden 6.000 anak telah mengakses situs pornografi dan menonton video pornografi melalui internet.
Baca juga: ECPAT Indonesia dorong peta jalan pelindungan anak di ranah daring
Baca juga: Korea Selatan tolak ekstradisi pelaku jaringan pornografi anak ke AS
"Sebanyak 0,48 persen kecanduan ringan dan 0,1 persen kecanduan berat. Dengan kecanggihan teknologi digital, semakin mudah bagi anak mengakses pornografi," tuturnya.
Diena mengatakan beberapa alasan remaja terlibat pornografi antara lain karena merasa jenuh, kesepian, marah, stres, lelah, ingin tahu, ajakan teman, dan melihat iklan sembuh yang muncul di layar gawai.
Menurut Diena, pornografi lebih merusak daripada narkoba. Kerusakan otak akibat narkoba terjadi pada tiga bagian otak, sedangkan pornografi menyebabkan kerusakan pada lima bagian otak.
"Anak yang kecanduan pornografi biasanya mudah marah dan tersinggung, terutama bila kegiatannya mengakses pornografi terganggu," katanya.
Masa depan anak yang kecanduan pornografi akan menjadi suram karena akan lebih memilih pornografi daripada hal-hal lain yang bermanfaat, bahkan terjerat seks bebas sebagai akibat dari keinginan yang meningkat daripada sekadar mengakses pornografi.*
Baca juga: Yayasan Sejiwa: Dampak pornografi lebih besar daripada napza
Baca juga: Orang tua harus kendalikan penggunaan gawai pada anak, sebut KPPPA
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020