Baghdad (ANTARA News/AFP) - Dewan kepresidenan Irak hari Rabu mengungkapkan keinginan mereka kepada para pejabat pemilihan umum agar pemungutan suara dilaksanakan pada 18 Januari, bukan 21 Januari seperti yang telah disepakati sebelumnya.
Faraj al-Haidari, ketua Komisi Pemilu Tinggi Independen (IHEC), mengatakan kepada wartawan di Baghdad, tanggal pemungutan suara diubah karena ada acara keagamaan.
"Saya diberi mereka (presidium) bahwa 18 Januari akan lebih baik daripada 21 Januari," kata Haidari. "Keputusan ada di tangan mereka dan kami tahu dari mereka secara lisan bahwa pemilu itu akan dilaksanakan pada 18 Januari."
Minggu (8/11), setelah perselisihan beberapa pekan, anggota-anggota parlemen Irak akhirnya meloloskan undang-undang yang mengatur pelaksanaan pemungutan suara itu, yang merupakan pemilu nasional kedua Irak sejak invasi pimpinan AS yang menggulingkan pemerintah Saddam Hussein enam tahun lalu.
Haidari mengatakan, Senin, dewan kepresidenan yang terdiri dari Presiden Jalal Talabani dan dua wakil presiden telah menerima usulan IHEC bagi tanggal pelaksanaan pelaksanaan pemilu pada 21 Januari.
Suasana pemilu pada Januari mendatang jauh berbeda dari pemungutan suara nasional pada Desember 2005.
Kekerasan sektarian antara kelompok-kelompok Syiah dan Sunni di Irak pada saat itu meningkat dan puncaknya pada 2006 dengan rata-rata 63 orang tewas setiap hari, sementara sepanjang tahun ini kurang dari 10 orang tewas setiap hari.
Pemilu itu semula dijadwalkan berlangsung pada 16 Januari namun penundaan terjadi karena masalah mengenai apakah pemungutan suara dilaksanakan dengan sistem tertutup atau terbuka dan bagaimana surat suara diproses di provinsi kaya minyak Kirkuk.
Pemilu awal tahun depan itu telah dibayang-bayangi oleh rangkaian kekerasan yang hingga kini masih terus terjadi, meski jumlahnya lebih kecil dibanding dengan ketika pemilu nasional pertama digelar pada 2005.
Seorang jendral senior AS dalam wawancara dengan AFP beberapa waktu lalu memperingatkan, gerilyawan mungkin akan melancarkan serangan-serangan yang lebih mengejutkan seperti pemboman dahsyat di Baghdad pada 25 Oktober, menjelang pemilihan umum Januari.
Mayor Jendral John D. Johnson mengatakan bahwa meski situasi keamanan akan stabil pada pertengahan tahun depan, kekerasan bermotif politis yang bertujuan mempengaruhi bentuk pemerintah mendatang merupakan hal yang perlu dikhawatirkan.
"Saya rasa kami tidak mengesampingkan keinginan kelompok-kelompok ini untuk melancarkan serangan besar karena mereka bisa mendapat banyak perhatian media dan itu juga merupakan upaya mereka untuk mengintimidasi rakyat," kata Johnson, deputi panglima operasi AS di Irak, dalam wawancara itu.
Ketika ditanya apakah ia memperkirakan gerilyawan berusaha melakukan pemboman seperti dua serangan bunuh diri yang menewaskan 153 orang di Baghdad pusat pada 25 Oktober, ia mengatakan, "Saya tidak bisa berbicara mengenai apa yang mereka ingin lakukan, ini adalah hal-hal yang kami perkirakan akan mereka lakukan."
Serangan-serangan bom mobil di luar kementerian kehakiman dan kantor pemerintah provinsi Baghdad pada Minggu (25/10) itu terjadi setelah serangan-serangan serupa yang menewaskan sekitar 100 orang di kementerian-kementerian keuangan dan luar negeri pada 19 Agustus.
Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.
Pemboman di Baghdad dan di dekat kota bergolak Mosul tampaknya bertujuan mengobarkan lagi kekerasan sektarian mematikan antara orang-orang Sunni dan Syiah yang membawa Irak ke ambang perang saudara.
Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad.
Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.
Jumlah korban tewas akibat kekerasan di Irak turun hingga sepertiga menjadi 275 pada Juli, bulan pertama pasukan Irak bertanggung jawab atas keamanan di daerah-daerah perkotaan sejak invasi pimpinan AS pada 2003.
Kekerasan menurun secara berarti di Irak dalam beberapa bulan ini, namun serangan-serangan meningkat menjelang penarikan militer AS, dan 437 orang Irak tewas pada Juni -- jumlah kematian tertinggi dalam kurun waktu 11 bulan.
Perdana Menteri Nuri al-Maliki memperingatkan pada Juni bahwa gerilyawan dan milisi mungkin meningkatkan serangan mereka dalam upaya merongrong kepercayaan masyarakat pada pasukan keamanan Irak.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009