Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua DPR, Sufmi Ahmad, mengatakan pimpinan DPR akan mengunci Peraturan Presiden Nomor 75/2019 dan Peraturan Presiden Nomor 64/2020 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 82/2018 tentang Sistem Jaminan Sosial.

Hal itu dikatakan untuk merespons masukan dari Wakil Ketua Komisi IX DPR, Ansory Siregar, yang menganggap kedua Perpres itu bertentangan dengan UUD 1945 pasal tentang Jaminan Sosial dan Pelayanan Kesehatan (pasal 23 ayat 1, pasal 28 H ayat 1, dan pasal 28 H ayat 3) serta pasal 34 ayat 1 tentang kewajiban negara memelihara fakir miskin dan anak terlantar.

"Pimpinan DPR akan kunci Perpres-Perpres itu untuk memperhatikan fakir miskin dan anak terlantar. Jadi jangan dikira pimpinan DPR ini diam. Kami akan sama-sama berjuang untuk fakir miskin dan anak terlantar," ujar Dasco saat sidang ke-19 DPR Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2019-2020 di Gedung Nusantara II Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.

Baca juga: Iuran BPJS Kesehatan naik per Juli, sebagian disubsidi pemerintah

Pernyataan Dasco disampaikan di sebelah Ketua DPR, Puan Maharani, serta para wakil ketua DPR, yaitu Azis Syamsuddin, Rachmat Gobel, dan Muhaimin Iskandar.

Dasco merasa geram karena Ansory menganggap pimpinan DPR tidak mau bereaksi ketika pemerintah menaikkan lagi iuran peserta BPJS kelas 3 atau untuk kategori Pekerja Mandiri (Pekerja Bukan Penerima Upah/PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).

"Kami tidak diam. Jadi kalau dibilang pimpinan tidak bereaksi, boleh tanya Badan Keahlian, nanti kami undang Pak Ansory dan teman-teman Komisi IX, kami akan kunci Perpres-Perpres itu," kata Dasco.

Baca juga: Pengamat: Tidak tepat iuran BPJS Kesehatan naik saat pandemi COVID-19

Sementara itu, Ansory berpandangan bahwa rakyat senang ketika Peraturan Presiden Nomor 75/2019 tentang kenaikan iuran BPJS dibatalkan Mahkamah Agung.

Menurut Ansory, peserta BPJS kelas 3 masuk golongan yang disebutkan dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 1, yaitu fakir miskin dan orang terlantar yang harus dipelihara oleh negara.

Namun, pemerintah malah mengeluarkan Perpres 64/2020. Kebijakan pemerintah itu, kata Ansory, tidak berempati dengan kesusahan rakyat dan tidak memberikan contoh tauladan yang baik dalam penegakan hukum.

Baca juga: Pemerintah beri bantuan iuran peserta JKN-KIS lewat Perpres 64/2020

"Baru saja kok, MA memutuskan. Diputuskan (pembatalan Perpres 75/2020) itu pimpinan, karena melanggar dua Undang-Undang. Memang, iuran untuk PBPU dan BP yang fakir miskin ini memang enggak naik di Perpres itu. Tapi begitu 1 Januari 2021 dinaikkan, ini tipu-tipu," kata Ansory.

Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64/2020 tentang jaminan kesehatan yang menaikkan iuran bagi peserta mandiri kelas 1 dan 2 berlaku 1 Juli 2020.

Dalam pasal 34 aturan tersebut dijelaskan bahwa besaran iuran untuk peserta mandiri kelas III sama dengan penerima bantuan iuran jaminan kesehatan, yakni Rp 42.000 per bulan.

Baca juga: BPJS Kesehatan siap laksanakan putusan MA

Namun, pemerintah menanggung 132,6 juta orang miskin dan tidak mampu sebagai peserta BPJS Kesehatan (JKN) hingga 1 Januari 2021.

Lebih rinci, 96,6 juta orang merupakan Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan 36 juta orang yang ditanggung oleh APBD Pemerintah Daerah.

Iuran mereka dibayarkan (disubsidi) pemerintah sebesar Rp42.000/orang/bulan dengan layanan setara kelas 3. Namun, Kemenkeu mulai 1 Januari 2021, mengurangi subsidi negara kepada peserta Bantuan Penerima Iuran (BPI) sebesar Rp 7.000.

Sehingga iuran Kelas 3 yang dibayar pemerintah untuk PBPU dan BP menjadi Rp 35.000, iuran peserta PBPU dan BP kelas 1 disesuaikan menjadi Rp 150.000/orang/bulan, dan iuran kelas 2 adalah Rp 100.000/orang/bulan.

Peserta yang tidak mampu membayar layanan kesehatan BPJS Kesehatan kelas 1 dan kelas 2, dibolehkan berpindah ke layanan BPJS kelas 3 sehingga hanya membayar Rp 25.500/orang/bulan.

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020