Jakarta (ANTARA News) - Pada gelap malam, Minggu 1 November 2009, tamu-tamu tidak biasa muncul di Kompleks Istana Kepresidenan, dan seperti umumnya tamu presiden, mereka ditempatkan di Wisma Negara lantai enam.
Kedatangan mereka segera mengundang perhatian media massa, namun maksud mereka hadir di Istana dari pukul 21.00 WIB hingga 23.00 WIB, sama gelapnya dengan suasana malam itu.
Mereka hanya menjelaskan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak bertukar pikiran tentang kasus hukum dua pimpinan non aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto.
Baru keesokan harinya, Senin 2 November 2009, maksud kedatangan para tamu itu sedikit demi sedikit terkuak.
Menko Polhukam Djoko Suyanto menjelaskan, Presiden Yudhoyono segera mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai pembentukan tim independen pencari fakta kasus Bibit dan Chandra.
Menurut Djoko, Keputusan Presiden itu adalah respon cepat kepala negara dalam menanggapi tuntutan masyarakat yang semakin luas menginginkan kejelasan kasus Bibit dan Chandra.
Media massa ramai mengekspos transkrip rekaman pembicaraan yang mengisyaratkan adanya kriminalisasi terhadap dua pejabat KPK non aktif itu. Ditambah, unjuk rasa merebak di mana-mana.
Sebuah tim yang mempunyai nama cukup panjang pun dibentuk, Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Publik kemudian mengenalnya dengan Tim Depalan.
Tim ini diketuai anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution, mantan anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan sebagai Wakil Ketua, dan Staf Khusus Kepresidenan Bidang Hukum Denny Indrayana sebagai sekretaris.
Sementara praktisi hukum senior Todung Mulya Lubis, advokat yang juga salah seorang Ketua DPP Partai Demokrat Amir Syamsuddin, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, dan Guru Besar Fakultas hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, menjadi anggota-anggotanya.
Tim ini ngebut, langsung bekerja. Hari pertama saja, mereka sudah harus duduk di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) dimana rekaman pembicaraan berdurasi 4,5 jam antara yang diduga Anggodo Widjojo dan para penegak hukum, diperdengarkan.
Dari rekaman milik KPK yang menyadap telepon genggam milik Anggodo, adik Anggoro Widjojo yang telah ditetapkan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sistem radio telekomunikasi terpadu di Departemen Kehutanan, tergambar telanjanglah upaya rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra.
Beberapa anggota Tim Delapan yang mendengarkannya terhenyak. Begitu meninggalkan Gedung Mahkamah Konstitusi mereka langsung menggelar rapat.
Rekomendasi pertama mereka kepada Presiden pun keluar, tangguhkan penahanan Chandra dan Bibit, nonaktifkan Kabareskrim Susno Duaji dari jabatannya, dan tindak tegas Anggodo Widjojo.
Usai menyampaikan rekomendasi, mereka berangkat ke Mabes Polri pada Selasa malam 3 November 2009 untuk memastikan Chandra dan Bibit dikeluarkan dari tahanan.
Dua dari tiga rekomendasi mereka pada malam itu terkabul, Chandra dan Bibit dibebaskan dari tahanan. Kini giliran Anggodo yang harus menjalani pemeriksaan maraton di Mabes Polri.
Berselang satu hari dari situ, karena rekomendasi nonaktif Susno tidak segera dipenuhi, Tim Delapan mengancam mogok bekerja.
Hikmahanto bahkan menyatakan akan mengembalikan Keppres pengangkatannya sebagai anggota Tim untuk kepada Presiden. Todung dan Anies berikrar akan mengikuti jejak Hikmahanto.
Ancaman mundur itu tidak jadi dilakukan setelah Tim Delapan dikunjungi Menko Polhukam Djoko Suyanto, Kamis pagi 5 November 2009. Setelah mendapatkan jaminan bahwa rekomendasi penonaktifan Susno akan didengar dan direspon cepat oleh Presiden, mereka kembali bekerja.
Ketua Tim Delapan Adnan Buyung Nasution yang awalnya meminta Susno diberhentikan tetap, ujungnya menerima penonaktifan sementara Susno dari Kabareskrim.
Setiap hari, sejak sidang Mahkamah Konstitusi 2 November 2009 hingga Senin 9 November 2009, Tim Delapan menghabiskan lebih dari 12 jam kerja untuk mendengarkan keterangan berbagai pihak yang terkait dalam kasus yang diverifikasinya itu.
Mereka tampak kelelahan setelah berjam-jam bekerja hingga lartu malam. Akibatnya, Adnan Buyung salah menyebut Tim Delapan dengan tim pembela, dan Anies terpeleset lidah mengubah angka delapan pada tim itu, menjadi tim sembilan.
Dalam memverifikasi fakta, Anies mengatakan, tim delapan mendahulukan rasa keadilan dibanding hanya sekedar terpenuhinya syarat legal formal.
Meski rekomendasi final mereka hanya diketahui Presiden Yudhoyono sebagai pemberi mandat, Tim Delapan menjamin kerja mereka transparan.
Janji itu dipenuhi. Anggota tim secara terbuka merinci agenda kerja mereka setiap hari. Setiap memulai mendengar keterangan dari pihak yang dipanggil, tim mempersilakan media massa memasuki ruang sidang utama Wantimpres untuk sekedar mendengar kata pengantar.
Permintaan keterangan dilakukan tertutup dari liputan media massa, namun setelah itu, mereka yang dipanggil dipersilakan menggelar konferensi pers.
Pihak Tim Delapan sendiri hampir setiap hari menggelar konferensi pers untuk menyampaikan perkembangan terbaru kerja mereka.
Ini bukan hanya bekerja transparan, namun sudah terang benderang. Bayangkan, dari hari ke hari, media massa bisa dengan gampang mengikuti arah penilaian mereka terhadap kasus Bibit dan Chandra.
Setelah gelar perkara bersama dengan Kepolisian dan Kejaksaan, Sabtu malam 7 November 2009, Tim Delapan menyatakan polisi lebih banyak mengandalkan petunjuk ketimbang barang bukti, ketika hendak membuktikan ada penerimaan uang dari Anggodo kepada Chandra dan Bibit.
Kemudian, Senin malam 9 November 2009, Tim Delapan akhirnya menyerahkan penilaian mereka atas kasus Chandra dan Bibit dalam rekomendasi kedua kepada Presiden yang disampaikan melalui Menko Polhukam.
Tim Delapan menyatakan proses hukum yang dijalani penyidik Polri dalam kasus pemerasan yang dituduhkan kepada Chandra dan Bibit, tidak cukup bukti untuk dilanjutkan.
Dalam kasus penyuapan, Tim menilai penyidikan polri terputus pada aliran dana dari Anggodo Widjojo kepada Ary Muladi atau pun seseorang bernama Yulianto. Intinya, tidak ada bukti yang bisa ditunjukkan polisi kepada Tim, bahwa aliran dana sampai di pimpinan KPK.
Sedangkan untuk tuduhan penyalahgunaan wewenang, Tim menilai jika pun kasus itu dipaksakan maju ke pengadilan, secara hukum akan lemah karena yang digunakan adalah pasal karet.
Terlebih, demikian Tim Delapan, tuduhan penyalahgunaan wewenang kepada Chandra dan Bibit sebenarnya adalah prosedur lazim yang juga dilakukan oleh pimpinan KPK periode sebelumnya.
Untuk menghormati Kejaksaan yang memegang berkas perkara Bibit dan Chandra, Tim Delapan tidak mengeluarkan saran apakah penyidikan kasus tersebut harus dihentikan atau tidak.
Berdasarkan kewenangan yang ada padanya, Tim Delapan hanya berharap Jaksa Agung memerhatikan penilaian Tim Delapan untuk kemudian mengambil keputusan.
Penilaian Tim Delapan disampaikan kepada Presiden Yudhoyono melalui Menko Polhukam Djoko Suyanto pada Senin sore sekitar pukul 18.00 WIB.
Menko Polhukam lalu segera memanggil Kapolri Jend Pol Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supanji ke kantornya. Pertemuan ketiganya tidak berlangsung lama, dan selesai tanpa sepatah pun keterangan kepada pers.
Langit sudah gelap ketika Senin malam pukul 20.45 WIB, Toyota Camry RI 11 yang ditumpangi Djoko Suyanto memasuki kompleks Istana Negara.
Tak lama kemudian, anggota Tim Delapan yang kini berganti status sebagai Staf Khusus Kepresidenan, Denny Indrayana menyusulnya.
Setelah mereka, bergabunglah Kapolri, Jaksa Agung, dan Menko Perekonomian Hatta Radjasa. Mereka dikumpulkan oleh Presiden Yudhoyono dalam rapat yang berlangsung hingga hampir tengah malam.
Baru pukul 23.30 WIB rapat tersebut selesai. Jaksa Agung dan Kapolri mengambil sikap tutup mulut. Hanya Menko Polhukam Djoko yang bersedia memberi keterangan.
Djoko mengatakan, Presiden meminta Kapolri dan Jaksa Agung untuk mempelajari dan merespon rekomendasi Tim Delapan. Dengan alasan tidak bisa mencampuri proses hukum, Presiden tidak memberikan arahan apakah kasus Chandra dan Bibit akan dihentikan.
Pers berspekulasi, apakah Presiden memberi tenggat waktu untuk penyelesaian kasus Chandra dan Bibit? Akankah kasus itu dihentikan penyidikannya karena Tim Delapan menilainya tidak cukup bukti?
Selasa pukul 00.00 WIB, Kejaksaan Agung lalu muncul memberi keterangan bahwa berkas perkara Chandra dikembalikan lagi kepada polisi untuk ditambahi keterangan saksi dan alat bukti, sedangkan kasus Bibit masih akan dipelajari selama sepekan oleh Kejaksaan.
Dengan begitu, berkas perkara Chandra sudah dua kali bolak balik antara Kejaksaan dan Kepolisian. Tidak ada yang tahu kapan yang gelap di awal itu akan berubah terang. (*)
Oleh Diah Novianti
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009