Jayapura (ANTARA News) - Dialog yang kreatif dan konstruktif merupakan jalan untuk membangun kebersamaan umat beragama yang dinamis untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam masyarakat.
Demikian dikatakan Wakil Direktur Dialog Centre, Program Pasca-Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr.Darius Dubut di Jayapura, Sabtu.
"Pemberlakukan undang-undang otonomi daerah yang semestinya menjadi dasar membangun kesejahteraan bersama di daerah telah berubah menjadi pengembangan dan perlembagaan diskriminasi dalam tatanan negara bangsa," ujarnya.
Selanjutnya dikatakannya, otonomi daerah dipahami sebagai keunikan setiap daerah sehingga lahirlah berbagai kebijakan yang sifatnya diskriminatif, yang justru menjauhkan kesejahteraan dan keadilan bagai semua.
"Kebijakan diskriminatif ini mengakibatkan pembatasan partisipasi publik dan menyerahkan ruang publik kepada kehendak `mayoritas` atas dasar moral agama," kata Dr.Darius.
Akibatnya muncul berbagai macam konflik di kalangan masyarakat yang berpotensi merusak hubungan sosial dan menghambat proses-proses pembangunan.
Oleh sebab itu, dia mengatakan, perlu dibangun dialog yang konstruktif dengan melibatkan komunitas beriman tanpa merelatifkan atau menghilangkan keunikan dari masing-masing pihak.
Dikatakannya, dalam dialog tersebut, setiap pihak yang terlibat tidak lagi berbicara tentang simbol-simbol, melainkan lebih menyentuh pada apa yang disimbolkan yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa.
"Dalam dialog, simbol-simbol dengan sendirinya akan gugur," tandasnya.
Menurutnya, melalui dialog setiap orang belajar untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada sehingga terbangun kebersamaan, persahabatan dan persaudaraan untuk mendukung satu sama lain.
Bahkan, lanjutnya, dengan dialog, perbedaan-perbedaan dalam masyarakat, baik agama, suku, bahasa, warna kulit dan status sosial menjadi suatu keberkahan dan sumber inspirasi dalam mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan untuk semua.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009