Direktur Riset SMRC Deni Irvani dalam webinar diikuti Antara di Jakarta, Selasa mengatakan bahwa sebanyak 52 persen masyarakat tersebut merupakan sample dari masyarakat yang menyatakan memahami RUU Cipta Kerja.
"Sebesar 37 persen menyatakan tidak mendukung, dan itu cukup banyak juga. Namun, bagi yang tidak memahami RUU Cipta Kerja tidak diberikan pertanyaan lebih lanjut," katanya.
Selain itu, pada pertanyaan apakah RUU tersebut mampu menjadi instrumen penanganan krisis dan resesi ekonomi, sebagaian informan menyebutkan optimistismenya sebesar 58 persen atas produk undang-undang tersebut.
Baca juga: Pengamat sebut RUU Cipta Kerja jamin fleksibilitas investor
Sebelumnya, dalam kesempatan berbeda, Pengamat Administrasi Publik Universitas Padjadjaran Muhammad Rizal menyebut bahwa ekosistem ketenagakerjaan yang diatur dalam RUU Cipta Kerja menjamin fleksibilitas untuk investor lebih mudah masuk dan membuka lapangan kerja lebih masif, di mana hal ini dinilai sangat krusial untuk dilakukan karena Indonesia saat ini menghadapi tantangan bonus demografi pekerja.
"RUU Cipta Kerja jika nantinya disahkan punya fleksibilitas untuk mempertahankan, memperbaiki, dan bahkan menghapus norma lama serta menciptakan norma baru yang lebih ramah investasi. Ini sangat penting untuk segera dilakukan di Indonesia," kata Rizal.
Baca juga: Pengamat : RUU Cipta Kerja diarahkan untuk permudah regulasi
Menurut dia, Indonesia saat ini cukup ketinggalan dibandingkan negara tujuan investasi lainnya. Sedangkan, upaya menarik kembali investor dinilai akan semakin sulit setelah adanya COVID-19.
"Kalau kita tidak mampu memberikan regulasi yang kompetitif dan menarik buat investor, sangat mungkin terjadi relokasi bisnis besar-besaran ke wilayah yang lebih kompetitif. Kalau masih di Indonesia ya mungkin masih oke, tapi kalau ke luar dari Indonesia kan tidak bagus juga," katanya.
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020