Karimun, Kepri (ANTARA News) - Ketua LSM Kiprah, John Syahputra, menyarankan pengadilan dijadikan target pertama pemberantasan mafia peradilan karena selama ini penyebab utama buruknya penegakan hukum adalah bobroknya dunia peradilan.

"Bila pengadilan sudah bersih, secara bertahap penuntut dan penyidik pun akan bersih," ucapnya di Tanjung Balai Karimun, Jumat, menanggapi 15 program prioritas 100 hari kerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Hal itu terlihat dari semakin banyaknya pelaku kejahatan krah putih yang divonis dengan hukuman minimal tanpa alasan yang cukup kuat bagi pemerhati penegakan hukum.

"Vonis minimal dari pengadilan menjadi `otak terbunuhnya` semangat penuntut dan penyidik pemberantasan tindak pidana khusus korupsi," kata John.

Efek domino dari vonis minimal itu, mengakibatkan kinerja penuntut dan penyidik turut memburuk dan menyimpang.

"Bahkan sering mereka memanfaatkan keadaan. Dengan dalih pemberantasan korupsi, bisa memperoleh uang dalam jumlah besar melalui penerimaanan suap, pemerasan, makelar kasus hingga melakukan pungutan liar," ujarnya.

Bila pengadilan telah dibersihkan, otomatis secara bertahap penyelewengan kewenangan yang sering dilakukan oleh penuntut dan penyidik akan terkikis habis.

"Pengadilan berhak meminta pembuatan berita acara perkara (BAP) kembali, bila penuntut dan penyidik `menyelamatkan` pelaku utama dari tindak pidana korupsi dan mengganti dengan kambing hitam yakni orang-orang yang hanya sebagai pelaksana dari kebijakan. Ini sering terjadi di Karimun," ucapnya.

Penuntut dan penyidik makin lama makin berani menyimpang, dengan mendatangi dan memanggil warga berndikasi korupsi dengan alasan sedang melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket) dan penyelidikan.

"Pulbaket dan penyelidikan menjadi `jurus utama` untuk memperoleh suap dan memeras," jelasnya.

Ia mengharapkan masing-masing pimpinan penegak hukum di pusat mengawasi ketat dan meminta secara rinci setiap laporan kegiatan pulbaket dan penyelidikan yang dilakukan staf di daerah.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009