Jakarta (ANTARA News) - Istilah jago pada awalnya melekat pada masalah perkelahian, sehingga jago diartikan sebagai juara berkelahi. Istilah tersebut kemudian berkembang, sehingga kata jago juga bisa dikaitkan dengan keunggulan.
Penduduk asli DKI Jakarta yakni orang Betawi memiliki jago-jago dengan dua pengertian tersebut. Mereka adalah aset Betawi dalam memperkaya khasanah kebudayaan dan sejarah nasional.
Pada abad 19, yang disebut jago Betawi, menurut Ridwan Saidi dalam bukunya Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta, adalah semacam jawara kampung yang menjadi palang dade, benteng penghalang orang yang datang dari luar dan mencoba mengganggu keamanan kampung, atau yang mau "menjajal" kekuatan jago bersangkutan.
Jago Betawi adalah jago silat. Misalnya saja Ja`man dari Sawah Besar, Derahman Jeni dari Tanah Abang, dan Sa`abun dari Kemayoran. Jago Betawi tidak pernah "menjual" atau melontarkan tantangan, tetapi bersedia "membeli" jika ada yang "menjual".
"Tradisi tersebut bertahan terus sampai abad ke-20. Yaitu tradisi positif, ketika para jago tidak agresif, apalagi berbuat kriminal," kata Ridwan Saidi yang juga budayawan Jakarta.
Kemudian ada juga Muhammad Dahrif, jago asal Klender yang mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Dahrif tidak memiliki catatan kejahatan. Berkat pasukan Dahrif, gerak maju pasukan NICA ke arah timur, atau "front" Bekasi-Kerawang, dapat dihadang.
Selain Dahrif juga ada Kyai Nur Ali Bekasi. Tokoh ulama itu memberikan sugesti agamawi bagi perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Di pusat kota, yaitu kawasan Senen dan sekitarnya ada Imam Syafi`i yang memimpin para pemuda Senen menghadapi "front" terdepan. Di Kramat Sentiong ada Icang yang pernah menggempur jantung pertahanan Belanda di markas Batalion 10 KNIL, Lapangan Banteng.
Mereka sebelumnya dikenal sebagai jago, dan tidak mempunyai catatan yang bernoda. Tatkala dibuka kesempatan bagi pemuda pejuang untuk memasuki ketentaraan maka Syafi`i dan Icang mendaftarkan diri sebagai anggota TNI. Adapun Dahrif seusai revolusi fisik terjun dalam partai politik IPKI.
Kalau Icang tewas dalam tugas menumpas pemberontakan PKI di Madiun 1948, maka Syafi`i di bidang militer mencapai pangkat Overste. Ia amat mengetahui liku-liku keamanan ibukota, dan ia banyak membantu tugas kepolisian.
Mungkin karena itu Bung Karno pada 1966 mengangkat Overste Imam Syafi`i sebagai menteri dalam Kabinet 100 Menteri.
Selain mereka itu, juga ada tipe jago yang lain di Betawi, misalnya M Husni Thamrin. Jumlah jago dengan tipe seperti M Husni Thamrin pada saat ini makin banyak dan bidangnya pun makin beragam.
Menurut Ridwan Saidi, Husni Thamrin dikenal sebagai tokoh yang pernah ikut serta mengatur pemerintahan kota Batavia di samping sebagai wet hounder, juga sebagai locobur germeester, orang yang mempunyai kekuasaan eksekutif yang bersifat lokal dalam arti penduduk pribumi, bukan dalam pengertian kewilayahan.
Orang Betawi lain yang pernah ikut menangani pemerintahan kota Jakarta adalah Syafi`ie yang menjadi wakil gubernur di zaman Ali Sadikin, dan Asmawi Manaf, wakil gubernur di zaman Tjokropranolo.
Saat ini muncul jago Betawi, yaitu Fauzi Bowo, yang akrab dipanggil Bang Foke. Dia menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta atau Gubernur DKI Jakarta, setelah sebelumnya ia menjadi wakil gubernur ketika Jakarta dipimpin Sutiyoso.
Di bidang ketentaraan juga ada putra Betawi yang pernah mencapai pangkat letnan jenderal. Ia adalah Letjen TNI (Purn) Muhammad Sanif. Semasa aktif, ia pernah menjabat Pangdam Bukit Barisan. Juga ada Mayjen TNI (Purn) H Nachrowi Ramli yang kini memimpin Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi.
Selain itu, putra-putra Betawi juga tercatat di bidang lain, seperti di bidang perbankan tampil Abullah Ali yang pernah menjadi Dirut Bank BCA, dan di bidang keilmuan mencuat nama Prof Dr MK Tadjudin yang pernah menjadi Rektor Universitas Indonesia (UI).
Zaman telah berubah. Masyarakat Betawi dengan segala kekenyalannya pun berubah. Namun yang pasti jago-jago Betawi itu selalu ada.
Salah satu wadah tempat berkumpulnya calon jago-jago Betawi itu adalah Keluarga Mahasiswa Betawi (KMB). Organisasi ekstra kampus yang berdiri pada 1976 itu anggotanya terdiri atas para intelektual Betawi yang merupakan aset bangsa.
Setelah lulus dari perguruan tinggi, mereka turut berperan di sejumlah bidang, seperti pemerintahan, parlemen, pendidikan, dunia usaha, dan kebudayaan. Jago-jago Betawi bakal terus bermunculan. (*)
Oleh Oleh Ahmad Buchori
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009