Jakarta (ANTARA) - Mengenakan masker adalah salah satu cara untuk menghindari paparan virus di tengah pandemi COVID-19 yang sampai sekarang belum juga bisa bisa diatasi di banyak negara.
Masker N99 dan N95 memang paling jitu dalam menangkal paparan virus berdasarkan banyak penelitian, tapi bagaimana dengan masker buatan sendiri?
Amanda Wilson, seorang kandidat doktor ilmu kesehatan lingkungan di Universitas Arizona, AS, melakukan penelitian bersama rekan-rekannya mengenai efektivitas penggunaan masker di lingkungan terkontaminasi.
Dalam Journal of Hospital Infection mereka memaparkan hasil studinya bahwa risiko seseorang terpapar virus akan sangat tergantung pada masker yang dikenakan dan berapa lama ia berada di lingkungan terkontaminasi.
Ketika para peneliti membandingkan memakai masker dengan tidak menggunakan perlindungan selama paparan virus selama 20 menit 30 detik, mereka menemukan bahwa risiko infeksi berkurang 24-94 persen atau 44-99 persen tergantung pada masker dan durasi paparan.
Pengurangan risiko menurun ketika durasi paparan meningkat, mereka menemukan.
“Masker N99, yang bahkan lebih efisien dalam menyaring partikel udara daripada masker N95, jelas merupakan salah satu opsi terbaik untuk memblokir virus, karena mereka dapat mengurangi risiko rata-rata sebesar 94-99 persen untuk paparan 20 menit dan 30 detik."
Baca juga: MMKI donasi 9 ribu masker N95 kepada PMI
Baca juga: Ini beda spesifikasi masker bedah dan N95 menurut Kemenkes RI
"Tetapi masker jenis itu bisa sulit didapat, dan ada pertimbangan etis seperti membiarkan itu tersedia bagi para profesional medis,” kata Wilson, dikutip dari Scitech Daily, Senin.
Selain N99 dan N95, para peneliti juga menguji masker dari bahan lain yang di antaranya banyak dibuat sendiri di rumah tangga maupun industri rumahan.
Menurut studi mereka, masker dari bahan seperti sejenis penyaring teh, kain katun-campuran, dan sarung bantal antimikroba adalah yang terbaik berikutnya untuk perlindungan.
Kain selendang, yang mengurangi risiko infeksi sebesar 44 persen setelah 30 detik dan 24 persen setelah 20 menit, dan kaos katun keefektifannya hanya sedikit lebih baik daripada tidak memakai masker sama sekali, mereka menemukan.
"Kami tahu bahwa masker berfungsi, tetapi kami ingin tahu seberapa baik dan membandingkan berbagai efek bahan pada hasil kesehatan," kata Wilson, yang berspesialisasi dalam penilaian risiko mikroba kuantitatif.
Wilson dan timnya mengumpulkan data dari berbagai penelitian tentang efektivitas masker dan menciptakan model komputer untuk mensimulasikan risiko infeksi, dengan mempertimbangkan berbagai faktor.
“Salah satu komponen besar risiko adalah berapa lama Anda (di lingkungan) terpapar. Kami membandingkan risiko infeksi pada 30 detik dan 20 menit di lingkungan yang sangat terkontaminasi," katanya.
Kondisi lain yang berdampak pada risiko infeksi adalah jumlah orang di sekitar Anda dan jarak mereka dari Anda, katanya.
Baca juga: Sepuluh ribu masker disalurkan untuk WNI di China
Baca juga: Modal pengadaan masker N95 naik empat kali lipat di Pasar Pramuka
Ukuran tetesan (droplet) pengangkut virus dari bersin, batuk atau bahkan bicara juga merupakan faktor yang sangat penting. Tetesan yang lebih besar dan lebih berat membawa virus keluar dari udara lebih cepat daripada tetesan yang lebih kecil dan lebih ringan. Itulah salah satu alasan jarak membantu mengurangi paparan.
"Ukuran aerosol juga dapat dipengaruhi oleh kelembaban," kata Wilson. “Jika udaranya lebih kering, maka aerosol menjadi lebih cepat lebih kecil. Jika kelembaban lebih tinggi, maka aerosol akan tetap lebih besar untuk periode waktu yang lebih lama."
"Itu mungkin terdengar bagus pada awalnya, tapi kemudian aerosol itu jatuh di permukaan, dan objek itu menjadi rute paparan potensial lainnya.”
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan seseorang dalam lingkungan di mana virus hadir, masker menjadi kurang efektif.
"Itu tidak berarti melepaskan masker Anda setelah 20 menit," kata Wilson, "tetapi itu berarti bahwa masker tidak dapat mengurangi risiko Anda menjadi nol.
"Jangan pergi ke bar selama empat jam dan berpikir Anda berisiko nol karena Anda mengenakan masker. Tetap di rumah sebanyak mungkin, sering-seringlah mencuci tangan, memakai masker saat Anda keluar dan jangan menyentuh wajah Anda."
Masker melindungi pemakainya dan orang lain dalam sejumlah cara berbeda. Wilson mengatakan ada dua "cara intuitif" masker menyaring aerosol: intersepsi mekanik dan impaksi inersia.
“Semakin padat serat suatu material, semakin baik saringannya. Itu sebabnya jumlah utas yang lebih tinggi mengarah pada kemanjuran yang lebih tinggi," katanya.
"Tetapi beberapa masker (seperti yang terbuat dari sutra) juga memiliki sifat elektrostatik, yang dapat menarik partikel yang lebih kecil dan mencegah mereka melewati masker juga."
Model yang dikembangkan oleh Wilson dan rekan-rekannya termasuk parameter seperti tingkat inhalasi--volume udara yang dihirup dari waktu ke waktu--dan konsentrasi virus di udara.
"Kami mengambil banyak data penelitian, memasukkannya ke dalam model matematika dan menghubungkan titik-titik data itu satu sama lain," kata Wilson.
Wilson juga mengatakan penting bagi masker untuk memiliki segel yang baik yang menjepit di hidung, dan dia mencatat bahwa orang tidak boleh memakai masker di bawah hidung atau menyelipkannya di bawah dagu ketika tidak digunakan.
"Penggunaan masker yang tepat sangat penting," kata Wilson. “Selain itu, kami fokus pada masker yang melindungi pemakainya, tetapi mereka paling penting untuk melindungi orang lain di sekitar Anda jika Anda terinfeksi. Jika Anda menempatkan lebih sedikit virus di udara, Anda menciptakan lingkungan yang kurang terkontaminasi di sekitar Anda."
Baca juga: Pemakaian masker yang nyaman cegah penyebaran COVID-19, sebut jubir
Baca juga: BNPB serahkan bantuan masker ke Persatuan Seniman Komedi Indonesia
Baca juga: Kehabisan masker bedah? dokter ini sarankan buat masker sendiri
Penerjemah: Suryanto
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020