Jakarta (ANTARA News) - Luhut M Pangaribuan, pengacara dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah menegaskan bahwa Anggodo Widjojo seharusnya bisa ditahan dengan bukti awal rekaman rekayasa.

"Rekaman sudah cukup sebagai bukti awal," kata Luhut kepada wartawan di gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Rabu.

Rekaman yang dimaksud Luhut adalah rekaman yang diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/11), dalam perkara uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Dalam rekaman tersebut terdapat sejumlah perbincangan terkait dengan dugaan rekayasa kasus yang menjerat Bibit-Chandra.

Selain itu, ujar dia, terdapat pula beberapa suara dan sejumlah nama yang diduga merupakan para pejabat di lembaga Polri dan Kejaksaan Agung.

Sedangkan pasal yang bisa dikenakan penyidik Polri terhadap Anggodo adalah pasal yang berkaitan dengan menghalangi pemeriksaan dalam kasus tindak pidana korupsi.

Anggodo, menurut Luhut, menghalangi pemeriksaan dalam kasus korupsi yang ditangani KPK karena berupaya untuk melakukan penyuapan.

Anggodo menjalani pemeriksaan di Mabes Polri sejak Selasa (3/11) malam. Namun, berdasarkan ketentuan, bila tidak terdapat bukti yang kuat dalam waktu 1 x 24 jam maka seseorang yang diperiksa harus dilepaskan demi hukum.

Polri hingga Rabu sore masih belum menetapkan Anggodo sebagai tersangka terkait isi rekaman percakapan dirinya dengan sejumlah pejabat penegak hukum.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Irjen Pol Nanan Soekarna mengatakan pihak penyidik belum menemukan alat bukti yang cukup untuk menetapkan Anggodo untuk menjadi tersangka.

"Hingga saat ini penyidik belum menemukan alat bukti yang cukup untuk menetapkan Anggodo menjadi tersangka," kata Nanan.

Ia juga mengatakan, tim penyidik masih melakukan pemeriksaan terhadap Anggodo sejak Selasa (3/11) pukul 23.00 WIB tetapi polisi masih belum menemukan formulasi hukum yang tepat untuk Anggodo.

Luhut mencemaskan, bila sampai Polri melepaskan Anggoro, maka kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dapat semakin lebih terpuruk.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009