Surabaya (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan, lembaga yang dipimpinnya itu bisa dibubarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengingat tahun depan tiga hakim MK telah pensiun.
"MK dibubarkan presiden? Sangat bisa, karena majelis hakim MK tidak memenuhi kuorum," katanya menjawab pertanyaan seorang peserta seminar tentang Konstitusi sebagai Dasar Melangsungkan Program Pembangunan Daerah Jawa Timur di Surabaya, Senin.
Ia menyebutkan, jumlah hakim MK saat ini sembilan orang, termasuk dirinya. Sementara sidang majelis hakim MK baru dianggap memenuhi kuorum, bila dihadiri tujuh hakim.
"Desember nanti Pak Mufti Fajar pensiun. Disusul dua hakim lainnya pada Januari tahun depan. Jadi, majelis hakim MK berjumlah enam orang, dan bisa saja presiden membubarkannya," kata Menteri Hukum dan HAM pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid itu.
Ia menceritakan pengalamannya memimpin MK beberapa waktu lalu. "Keberangkatan saya ke Aceh sampai gagal karena pada saat bersamaan ada sidang majelis hakim MK yang ternyata pesertanya kurang," katanya.
Menurut dia, keputusan kolektif kolegial yang dihasilkan MK menyebutkan angka kuoromnya. "Kalau KPK, keputusan kolektif kolegial tidak menyebutkan angka kuorum," kata pakar hukum tata negara itu.
Oleh sebab itu, dia sudah mendekati Presiden Yudhoyono mengenai tiga hakim MK yang akan pensiun nanti.
"Saya mendapatkan jaminan dari presiden akan ada pengangkatan hakim MK lagi, supaya MK tidak bubar secara konstitusi," katanya tanpa menjelaskan, apakah pengangkatan itu dari hakim yang sudah pensiun atau melalui uji kepatutan dan kelayakan lagi.
Dalam kesempatan itu, Mahfud, juga mengungkapkan, ada 10 hal yang menjadi larangan bagi hakim MK.
Sepuluh hal yang menjadi pantangan itu adalah membuat putusan yang sifatnya mengatur karena MK hanya bisa meniadakan aturan, membuat putusan bersifat ultra petita atau mengeluarkan putusan tanpa ada permintaan, membuat putusan berdasarkan undang-undang karena MK membuat putusan berdasarkan UUD 1945, dan mencampuri legal policy yang bersifat terbuka.
Selain itu pantangan lainnya adalah membuat putusan berdasarkan teori hukum, membuat putusan demi kepentingan diri sendiri, beropini kepada publik atas perkara yang ditangani, mencari-cari perkara atau mengundang orang-orang untuk berperkara, menawarkan diri untuk menengah-nengahi sebuah perkara, dan menilai benar atau tidak UUD 1945 selama belum diubah oleh DPR.
"Mestinya, hakim juga harus membuat pantangan seperti itu, supaya putusan-putusan yang dihasilkannya benar-benar adil," kata Mahfud menegaskan. (*)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009