Suatu paradigma merupakan suatu standar tanggapan yang dianut organisasi dalam menghadapi permasalahan-permasalahan jangka pendek maupun menengah sebagai awal pendekatan. Suatu paradigma menjelaskan mengapa perilaku-perilaku tertentu akan diberi balas jasa (reward) dan perilaku-perilaku lainnya diberi sanksi hukuman (punishment) dan juga memberi nuansa baru pada “citra” sebuah organisasi.
Yang pasti, paradigma mempunyai pengaruh atas “citra diri” karyawan dari yang puncak sampai karyawan biasa sebagai anggota organisasi. Sudah barang tentu semua ini harus diwujudkan secara konsisten agar tidak sekedar menjadi pernyataan kosong belaka.
Dalam proses pembaruannya, awalnya dapat dilakukan secara eksplisit mengikuti beberapa bentuk metode yang standar, seperti melalui wawancara untuk memperoleh umpan balik, suatu feed-back approach, mulai dari pimpinan puncak sampai dengan manajer eselon menengah yang berperan penting dalam organisasi, dilanjutkan dengan diskusi kelompok fungsional manajemen maupun lintas fungsional.
Proses demikian harus dibatasi dalam suatu waktu (time-line), agar tidak terjadi diskusi omong kosong belaka dan membuang waktu, daya dan dana.
Lazimnya mendahului awal proses itu, pada anggota manajemen puncak, menengah sampai eselon penyelia, ditanyai masih sanggup tidaknya mendayung maju dalam organisasi yang memperbarui diri atau..... melangkah mundur dari organisasi?
Pertanyaannya juga mengharapkan tanggapan sejujurnya atas rumusan baru yang singkat, padat yakni “ ya, karena tantangan memberi gairah baru” atau tanggapan setengah hati atau tidak “ karena 1).kuatir justru organisasi akan mengalami kemandekan dalam operasi , atau 2) tidak melihat visi ke depan yang lebih memberi harapan untuk maju dalam karir ”.
Jawaban “ya” atau “tidak” harus digali lebih jauh oleh manajemen puncak dengan dukungan beberapa anggota manajemen menengah inti sebelum rumusan yang lebih mantap disebarkan melalui diskusi kelompak lintas fungsional.
Yang harus menjadi sasaran organisasi adalah dengan paradigma baru menjiwai operasi baru yang lebih mantap keluar dalam arti menghargai masyarakat yang menjadi relung pasar (market niche) dan masyarakat yang umumnya yang membutuhkan pelayanan publik dengan tekad: lebih baik, lebih cepat dan lebih murah (tidak sengaja disuruh membuang-buang waktu) di pihak yang meminta pelayanan”. Bagi masyarakat yang dikenal sebagai yang terkait atau stake holders maknanya dari good governance, publik maupun bisnis.
Keberhasilan organisasi baik itu organisasi pemerintahan , maupun bisnis, baik di pusat maupun daerah, tergantung pada kaliber kepemimpinan puncak dan manajemen menengah yang merupakan motornya. Meskipun, demikian perlu kita sadari dan hayati bersama lima karakter dasar yang dapat digali dari beberapa referensi bacaan ilmuwan/pengamat dan pe-bisnis Asia Timur : 1. Kebajikan (wisdom), 2. krediblitas, 3. kedekatan dalam arti tanggungjawab interpersonal), 4. keteguhan dalam menerima resiko (bukan menafsirkan tanggung jawab saya hanya menjawab, tapi bawahan yang menanggung), dan 5. disiplin dalam berkarya (termasuk menepati waktu).
Dengan kelima karakter dasar yang bermoral (etika), maka organisasi akan menjelma menjadi efektif, namun tidak dengan sumber daya manusia (SDM) yang hanya ‘mencari muka atau yes man”. Di pihak manajemen , tentunya keterbukaan dalam menerima pandangan yang patut di’dengar’kan demi kemajuan organisasi. Kredibilitas dalam mengelola organisasi bukan berarti sikap ‘arogan’ dan merasa paling kapabel’. Keteguhan dengan berani menanggalkan pola pikir yang sudah usang dengan berani mengganti dengan yang baru sekalipun awalnya ada resiko dan protes dari luar.
Dalam menerapkan disiplin, kita harus menyadari nilai ketepatan waktu dalam merencana, implementasi dan pengawasan. Di negara Sakura, disiplin waktu dalam arti ‘just-in-time’ dalam hal hal yang kecil seperti tepat waktu dalam memenuhi janji. Dengan displin waktu itu, kita akan memperoleh hormat/apresiasi dari lawan bicara sesama manusia. Adalah tidak elegan untuk membuat lawan bicara menuggu berjam-jam untuk waktu janji ketemu. Hal-hal yang kecil ini yang membutuhkan perbaikan sikap diri di antara kita.
Para pemimpin puncak dan manajemen menengah perlu melalui gugat diri secara teratur makin menyadari bahwa dengan karakter dasar ini yang juga disebut “karakter humanistik” dapat membuahkan daya gerak untuk lebih baik. “ Hari ini lebih baik dari kemain, esok lebih unggul dari hari ini “, (today is better than yesterday, tomorow better than today), sebagai ungkapan implisit maupun eksplisit yang banyak kali penulis serap dari sesama ekonom Jepang.
Justru dengan kesadaran ini, kita perlu kebajikan untuk hanya bertindak setelah ketenangan dalam berpikir agar tidak tergesa-gesa bertindak tanpa ketenangan yang akibatnya kegagalan. Ini bukan berarti , menunda-nunda dan mencari alibi untuk tidak berani bertanggung jawab.
Beberapa ungkapan juga yang bermakna yang patut kita resap “ Tantangannya tidak memuji-muji orang lain secara berlebihan , tapi dngan jujur berani mengukur diri sendiri termasuk kelemahan kelemahan diri yang setiap waktu muncul adalah lebih berarti. Jangan sampai Anda hanya menyadari kelemahan Anda sendiri (untuk show) , tapi hendaknya jangan setiap kesempatan menganggap remeh keunggulan orang lain.
Pimpinan organisasi dengan manajemen menengahnya tentunya menyadari dan memahami bahwa sebagai bangsa kita menjadi penerima suatu era baru (incipient of a new time) dalam ikut mendayung maju bersama kawasan Asia dan G20 melewati krisis global yang terjadi tahun 2007- pertengahan 2009.
Inilah beberapa cuplikan tantangan yang lebih riil untuk dihadapi para elite dan manajemen menengah serta kelas menengah yangterhitung sebagai bangsa Asia Timur (ASEAN Plus 3), ketimbangkan teori teori dan visi dari Barat. (*)
*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Asia Timur, dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi, Universitas Tarumanagara (Untar) Jakarta.
Oleh Oleh Bob Widyahartono
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009