Brisbane (ANTARA News) - Dendam sejarah keluarga lima wartawan Australia yang tewas saat serdadu Indonesia masuk ke Balibo, Timor Timur (Timtim), tahun 1975 kembali menjadi komoditas media Australia.
Kali ini Stasiun TV "Channel Nine" mengangkat apa yang disebutnya kisah "pencarian keadilan" Greig dan Ann, dua saudara Gary Cunningham yang bersama empat rekannya terbunuh di Balibo 34 tahun lalu itu, dalam program acara "60 Minutes"-nya Minggu malam.
Seperti umumnya banyak tayangan terdahulu, bingkai pemberitaan Stasiun TV "Channel Nine" Minggu malam yang diisi dengan cuplikan gambar film layar lebar "Balibo" (2009) itu menempatkan Indonesia sebagai pembunuh.
Dua orang saudara Gary Cunningham itu datang bersama reporter dan juru kamera stasiun TV ini ke Timtim, termasuk ke sebuah rongsokan rumah yang mereka yakini sebagai tempat kelima wartawan itu tewas.
Tayangan di acara "60 Minutes" itu, "Channel Nine" menghadirkan seorang pria Timtim yang mengaku menyaksikan langsung apa yang disebutnya "aksi pembantaian" oleh pasukan TNI atas kelima wartawan yang kemudian kasus kematian mereka dikenal dengan sebutan "Balibo Five" ini.
Selain itu, diwawancarai pula Presiden Timtim Ramos Horta dan Juru bicara Departemen Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah.
Dalam pertanyaannya kepada Teuku Faizasyah, reporter TV "Channel Nine" tidak hanya mempertanyakan apa yang disebutnya pembunuhan terhadap lima wartawan Australia tetapi juga apakah pemerintah RI akan "mengekstradisi" Yunus Yosfiah, purnawirawan perwira TNI yang dituding sebagai pelaku, ke Australia.
Menanggapi pertanyaan ini, Teuku Faizasyah menegaskan bahwa kelima wartawan tersebut tewas dalam baku tembak , sehingga tidak akan ada ekstradisi Yunus Yosfiah ke Australia karena Indonesia memandang kasus "Balibo Five" sudah ditutup.
Dalam tayangan itu, "Channel Nine" mengesankan bahwa Australia berjasa dalam pemerdekaan Timtim dari Indonesia dan luka sejarah yang dirasakan dua anggota keluarga Cunningham pada Indonesia itu tidak akan pernah mati sampai orang-orang yang diyakini mereka sebagai pembunuh dihukum.
Dendam sejarah ini kembali dihadirkan ke publik negara itu setelah Polisi Federal Australia (AFP) memutuskan untuk menyelidiki tuduhan kejahatan perang dalam kasus "Balibo Five" itu pada 8 September 2009.
Pada Juli dan Agustus 2009, memori publik Australia tentang "Balibo Five" sudah dibangun lewat suguhan film Balibo di Festival Film Internasional Melbourne dan Brisbane.
Namun opini publik negara itu tentang pihak yang bertanggung jawab terhadap kematian lima wartawan tahun 1975 ini sudah terbangun sejak adanya kesimpulan Pengadilan Glebe Coroners NSW pada 16 November 2007 bahwa personil TNI adalah pihak yang membunuh lima wartawan Australia tersebut.
Kesimpulan pengadilan koroner yang digelar untuk melihat kasus kematian Brian Peters itu diungkapkan wakil Pengadilan Koroner NSW, Dorelle Pinch.
Pinch mengatakan kepada pengadilan bahwa kelima wartawan tersebut tidak tewas dalam kontak tembak antara personil TNI dengan Fretilin tetapi dibunuh atas perintah Komandan Lapangan Kapten Yunus Yosfiah.
Terhadap penyelidikan AFP ini, pemerintah Australia menjadikan independensi keputusan Pengadilan Koroner NSW yang mendorong AFP membuka kembali kasus ini "tameng" menghadapi reaksi keberatan Indonesia.
Dalam konferensi persnya di Perth, 11 September lalu, Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith menegaskan ketidakterlibatan pemerintahnya dalam keputusan apa pun yang terkait dengan penyelidikan kasus "Balibo Five" karena itu sepenuhnya merupakan urusan AFP.
"Sebagai Menlu, saya tidak punya peran di dalam soal (keputusan AFP) ini. Tidaklah tepat bagi menteri manap un ikut bermain. Jadi semua ini didasarkan pada penilaian independen AFP," katanya.
Menanggapi keputusan AFP ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah pun mengingatkan Australia agar ikut mendukung upaya Komisi Kebenaran dan Persahabatan (CTF) Indonesia-Timor Leste mengakhiri konflik secara bijak dan melihat ke depan dengan sejumlah rekomendasi yang ditindaklanjuti Indonesia dan Timor Leste.
"Ini penting agar hubungan dengan Australia yang sekarang dalam keadaan baik, bahkan sangat baik, tidak terganggu dengan masalah-masalah yang muncul, karena menggunakan cara berpikir, yang menurut kita tidak tepat," katanya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Sejak insiden yang menewaskan Greg Shackleton, Tony Stewart, Brian Peters, Malcolm Rennie, dan Gary Cunningham itu 34 tahun lalu, Yunus Yosfiah, purnawirawan perwira TNI yang pernah bertugas di Timtim, terus terseret ke dalam pusaran masalah ini.
Tuduhan ini pun sudah berulang kali dibantah mantan Menteri Penerangan semasa pemerintahan Presiden BJ Habibie( 1998-99) itu. (*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009
Aushitt emang dr zaman Presiden Soekarno sll phobia dgn Indonesia.Salah satu doktrin militer mereka aja bunyinya,musuh datang dari arah utara.Pdhl di barat laut ada India,di timur laut ada China.Dasar Australi Bangsa Inferior!
tapi, tahun 70-an, USA kuatir Timor-tomor jadi komunis, dan memberi semangat kepada Indonesia untuk menginvasinya dengan alasan pasukan perdamaian.
ini mirip kasus di Libanon, dimana pasukan suriah masuk, dan bertahan puluhan tahun di negeri Libanon.
Kenapa Indoensia harus menduduki Timor leste? padahal cost-nya sangat mahal, malah kita harus pergi dengan malu dari negeri tersebut