"Sagu tidak bisa tunggal dalam pengembangannya harus ada dukungan-dukungan misalnya pengembangan model bisnis yang berbasis jasa ekosistem karena kalau kita tidak memunculkan inovasi terkait komoditas ini akan sangat sulit menjadi komoditas yang berkembang luas," kata Haris dalam diskusi virtual tentang sagu di lahan gambut yang dipantau di Jakarta pada Kamis.
Pengembangan sagu, kata dia, harus memikirkan aspek komersialisasi dan industrialisasinya untuk mengarusutamakan komoditas tersebut kepada khalayak luas. Pengarusutamaan itu menjadi bahan pokok makanan yang sehat bisa dilakukan dengan inovasi dan slogan menarik seperti "food for conservation" atau "conservation and food security."
Baca juga: BRG: Sagu potensial dikembangkan di lahan gambut
Dia sendiri melihat program restorasi gambut dapat dilakukan dengan mengembangkan sagu yang berbasis manajemen sistem berkelanjutan yang tetap mengintegrasikan strategi pembasahan kembali (rewetting), penanaman kembali (revegetation) dan peningkatan kesejahteraan (revitalization) atau yang dikenal sebagai 3R.
Pola itu, kata dia, diharapkan dapat mendorong sagu menjadi tanaman unggulan untuk menghasilkan berbagai komoditas strategis, khususnya dalam rangka restorasi ekosistem gambut dan ketahanan pangan.
"Kami akan terus mengembangkan riset yang terkait bagaimana keseimbangan antara konservasi dan pengembangan ekosistem gambut berbasis sagu," kata dia.
Baca juga: Gugus Tugas dorong masyarakat manfaatkan keragaman pangan Indonesia
BRG sendiri telah memetakan lokasi indikatif pengembangan sagu dengan total di tujuh provinsi target restorasi gambut di Indonesia terdapat 1,39 juta hektare (ha).
Pengembangan sagu dirasa Haris menjadi cukup penting karena dengan adanya risiko perubahan iklim membuat padi menjadi komoditas rentan, apalagi ketika masih tetap mempertahankannya sebagai komoditas tunggal.
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020