Karena kanal membuka ruang interaksi juga antara kandidat dengan pemilih. Bisa saja komentar atau tanda jempol sebagai bentuk dukungan menjadi model aduan terbanyakJakarta (ANTARA) - Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) mengatakan netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi sebuah poin krusial pada penyelenggaraan Pemilihan kepala daerah 2020.
Peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Dian Permata di Jakarta, Kamis, mengatakan dari kontestasi pilkada serentak gelombang pertama hingga ketiga sejak 2015 hingga 2018 terus menunjukkan tren kenaikan laporan pelanggaran netralitas ASN.
Pada penyelenggaraan 2020 ini, kata dia potensinya terus melonjak karena saat ini berada di tengah pandemik COVID-19. Hal itu menyebabkan ruang kampanye di media dalam jaringan (daring) semakin luas.
Baca juga: Pilkada 2020, Ketua MPR: ASN harus netral
"Karena kanal membuka ruang interaksi juga antara kandidat dengan pemilih. Bisa saja komentar atau tanda jempol sebagai bentuk dukungan menjadi model aduan terbanyak," ucapnya.
Pada gelombang pilkada serentak pertama hingga ketiga saja kenaikan pelanggaran netralitas ASN mencapai 5-6 kali lipat atau dari 10 hingga 296 persen.
"Bahkan, data dinamis untuk Pilkada 2020, sudah mencapai 136 persen. Artinya, secara purata dari 270 wilayah yang melaksanakan pilkada setiap daerah mempunyai peluang ada satu hingga dua laporan aduan," tuturnya.
Untuk menekan potensi pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada 2020 tersebut, SPD menyarankan agar ada patroli siber pengawasan terhadap ASN di media sosial.
"Karena ruang kampanye lebih pada dunia maya, perlu pengawasan berupa patroli, hal itu dilakukan dengan kerja sama lembaga terkait, tidak hanya penyelenggara pemilu saja," ujarnya.
Baca juga: KPK sinyalir bupati gunakan anggaran COVID demi pencitraan Pilkada
Ada beragam alasan mengapa netralitas ASN hilir mudik diperbincangkan dalam pemilu, satu di antaranya karena ASN dianggap mampu menggerakkan potensi sosial dan politik yang mereka miliki.
Apalagi jika pembahasan isu tersebut berkaitan dengan pelaksanaan pilkada dan majunya petahana dalam hajat demokrasi lokasi seperti pemilihan gubernur, pemilihan bupati, dan pemilihan wali kota.
Kasus operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Kudus, Tamzil, kata dia dapat menjadi secuil petunjuk bagaimana netralitas ASN bisa tercemar.
Tamzil diduga menerima suap terkait pengisian jabatan kepala dinas di wilayahnya. Kasus ini menguatkan desas-desus yang berkembang selama ini bahwa kepala daerah memiliki peran khusus untuk pengisian jabatan di daerah.
Dengan kepala daerah memiliki peran khusus terhadap pengisian jabatan seperti kepala dinas dan lain-lain, tindakan itu tentunya bisa berimplikasi pada dukungan yang diberikan ASN saat penyelenggaraan pilkada.
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020