Kita masih menghadapi bom waktu terkait kemungkinan pemulangan bekas petempur asal Indonesia yang saat ini berada di kamp pengungsi, begitu juga dengan mobilisasi orang Indonesia di wilayah selatan Filipina, Afghanistan, dan negara lainnya

Jakarta (ANTARA) - Indonesia membidik beberapa kerja sama dan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) pencegahan terorisme dengan negara lain di tengah pandemi COVID-19, kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar saat sesi diskusi virtual di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan kerja sama yang dikehendaki Indonesia terkait dengan peningkatan kapasitas, pertukaran informasi, serta penyusunan program bersama untuk penanggulangan terorisme.

"Yang penting intinya adalah semangat kerja sama internasional. Ini yang harus kita jaga dalam melawan terorisme," terang Komjen Pol Boy pada sesi seminar virtual bertajuk Keeping Up the Fight against Terrorism during the COVID-19 Crisis dari lembaga think tank Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), sebagaimana disiarkan langsung via Youtube.

Baca juga: Warga Hong Kong dituntut atas terorisme, hasutan separatisme
Baca juga: Inggris dikejutkan aksi penusukan yang dikaitkan dengan terorisme

Walaupun demikian, Boy tidak menjelaskan lebih lanjut negara mana saja yang akan diajak untuk bekerja sama, serta tahapan perundingannya untuk penandatanganan MoU. Namun, ia mengatakan pihaknya telah melakukan beberapa pertemuan virtual guna mewujudkan rencana tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, beberapa peneliti dan pengamat menyebutkan ancaman terorisme di Indonesia dan beberapa negara, salah satunya Filipina, meningkat selama dunia menghadapi pandemi COVID-19.

Pengamat dan peneliti terorisme asal Indonesia, Noor Huda Ismail mengatakan adanya pandemi tidak menghilangkan berbagai ancaman terorisme, khususnya terkait dengan isu pemulangan bekas petempur IS asal Indonesia di luar negeri dan residivis teroris di dalam negeri.

"Kita masih menghadapi bom waktu terkait kemungkinan pemulangan bekas petempur asal Indonesia yang saat ini berada di kamp pengungsi, begitu juga dengan mobilisasi orang Indonesia di wilayah selatan Filipina, Afghanistan, dan negara lainnya," terang Noor Huda, pendiri Institute for International Peace Buildng Indonesia.

Ia menjelaskan Indonesia tidak dapat bekerja sendiri untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terorisme tersebut, karena para pelakunya membangun jejaring dengan organisasi garis keras dari luar negeri. "Isu ini membutuhkan kerja sama di tingkat kawasan dan dunia," tambah Noor Huda.

Sementara itu, pengamat terorisme asal Filipina, Rommel C. Banlaoi mengatakan momen pandemi dimanfaatkan sejumlah organisasi garis keras untuk meningkatkan propagandanya serta mencari anggota baru lewat dunia maya.

"Organisasi garis keras itu memanfaatkan kesulitan ekonomi saat pandemi untuk merekrut anggota baru," terang Rommel, kepala The
Philippine Institute for Peace, Violence and Terrorism
Research.

Tidak hanya itu, beberapa organisasi garis keras di Filipina juga memanfaatkan situasi pandemi untuk meluncurkan serangan. "Pandemi COVID-19 jelas mempengaruhi kemampuan otoritas penegak hukum (di Filipina, red) karena fokus mereka terpecah antara menegakkan aturan karantina dan melakukan pencegahan serta penanggulangan terorisme," jelas Rommel.

Setidaknya ada dua kelompok pemberontak yang saat ini dihadapi Filipina, yaitu barisan komunis dan organisasi dari kalangan Muslim.

"Organisasi dari kalangan M​​​​uslim ini cukup rumit karena banyak kelompok yang beroperasi, ada yang terafiliasi dengan ISIS, ada yang bukan bagian dari ISIS, ada juga kelompok yang membantu pemerintah menciptakan perdamaian di wilayah konflik," terang dia.

Baca juga: KPPPA: Jaringan terorisme rekrut anak melalui media digital
Baca juga: AICHR Indonesia kecam pengesahan UU Anti-Terorisme Filipina

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020