Jakarta (ANTARA) - Maria Pauline Lumowa, buronan pembobol Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, berdasarkan informasi yang dihimpun dari situs ANTARA sejak 2009, merupakan komplotan terpidana Andrian Herling Woworuntu.

Ketika itu, Maria dan Andrian sama-sama menjabat sebagai direktur perusahaan yang tergabung dalam Gramarindo Group.

Kasus itu terjadi dalam rentang Oktober 2002 hingga Juli 2003, ketika keduanya mengajukan 41 Letter of Credit, yang dilampirkan dengan delapan dokumen ekspor fiktif, seolah-olah perusahaan itu telah melakukan ekspor dengan nilai mencapai Rp 1,7 triliun.

Wanita yang lahir di Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 itu merupakan mantan isteri Jeffrey Baso yang juga berkomplot dengannya dalam peristiwa tersebut.

Namun, Andrian Herling Woworuntu dan Jeffrey Baso masing-masing telah mendapatkan hukuman.

Adrian divonis penjara seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 2005. Sedangkan Jeffrey telah divonis tujuh tahun penjara dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sutjahyo Padmo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Baca juga: Buronan pembobol Bank BNI Maria Pauline diekstradisi dari Serbia

Sementara Maria Pauline Lumowa melarikan diri ke Singapura, dan kemudian diketahui telah menjadi warga negara 'Negeri Kincir Angin', Belanda.

Pemerintah Indonesia kesulitan mengekstradisi Maria Pauline Lumowa karena status kewarganegaraannya.

Hal itu diungkapkan Menteri Kehakiman Belanda, EMH Hirsch Ballin, saat menjawab pertanyaan Jaksa Agung Hendarman Supandji, dalam pertemuan yang berlangsung 48 menit di Jakarta, Selasa, (24/2/2009).

Namun, saat peristiwa pembobolan terjadi, Maria Pauline masih menjadi warga Indonesia, dan lex loxi delicti juga terjadi di negeri ini, kata Pakar Hukum Internasional, Prof Dr. Suhaidi, SH, di Medan, ketika diminta komentarnya mengenai proses hukum terhadap Maria Pauline yang sudah menjadi warga Belanda, Jumat (27/2/2009).

Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979.

Baca juga: Ketua Komisi III DPR apresiasi Menkumham atas ekstradisi Maria Pauline

Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.

Upaya penegakan hukum lantas memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019.

"Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003. Pemerintah bereaksi cepat dengan menerbitkan surat permintaan penahanan sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan ekstradisi melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna.

Selain itu, lanjut Yasonna, keseriusan pemerintah juga ditunjukkan dengan permintaan percepatan proses ekstradisi terhadap Maria Pauline Lumowa.

Di sisi lain, Pemerintah Serbia juga mendukung penuh permintaan Indonesia berkat hubungan baik yang selama ini dijalin kedua negara.

Sudah menjadi buronan selama 17 tahun, Maria akhirnya diekstradisi dari Serbia oleh Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada Rabu (8/7/2020).

Baca juga: Kejagung Berupaya Sidangkan Maria Pauline di Belanda

"Dengan gembira saya menyampaikan bahwa kami telah secara resmi menyelesaikan proses handing over atau penyerahan buronan atas nama Maria Pauline Lumowa dari pemerintah Serbia," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta.

Maria Pauline Lumowa di bawa ke Indonesia dan tiba melalui Terminal 3 Kedatangan Internasional Bandara Soekarno-Hatta, Banten, Kamis (9/7) siang.

Maria tiba di ruang tunggu kedatangan VIP Terminal 3 Bandara Soetta sekitar pukul 11.00 WIB. Dengan mengenakan baju tahanan Bareskrim Polri dan kupluk, serta kedua tangan diikat, perempuan yang telah menjadi buronan selama 17 tahun itu langsung di bawa ke dalam ruangan khusus dengan pengawalan ketat dari pihak kepolisian dan petugas Kemenkumham.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly beserta rombongan telah terlebih dahulu memasuki ruang tunggu VIP sekitar pukul 10.50 WIB.

Setelah menjalani protokol kesehatan, seperti pengecekan suhu tubuh, saturasi oksigen, dan surat kewaspadaan kesehatan, Yasonna beserta rombongan langsung memasuki ruang tunggu yang telah disiapkan.

Apresiasi

Menteri Yasonna mengatakan bahwa upaya esktradisi Maria bisa terjadi, tak lepas dari, adanya diplomasi hukum dan hubungan baik antarnegara serta komitmen pemerintah dalam penegakan hukum.

Yasonna menuturkan, pemulangan Maria juga sempat mendapat "gangguan" berupa upaya hukum agar dapat lepas dari proses ekstradisi dan ada upaya dari sebuah negara untuk mencegah ekstradisi terwujud.

Namun, kata Yasonna, Pemerintah Serbia tegas pada komitmennya untuk mengekstradisi Maria Pauline Lumowa ke Indonesia.

"Indonesia dan Serbia memang belum saling terikat perjanjian ekstradisi, namun lewat pendekatan tingkat tinggi dengan para petinggi Pemerintah Serbia dan mengingat hubungan sangat baik antara kedua negara, permintaan ekstradisi Maria Pauline Lumowa dikabulkan," kata Yasonna.

Yasonna menambahkan, ekstradisi Maria tak lepas dari asas timbal-balik karena sebelumnya Indonesia sempat mengabulkan permintaan Serbia untuk mengekstradisi pelaku pencurian data nasabah Nikolo Iliev pada 2015.


Baca juga: Maria Pauline Bisa Diadili di Indonesia

Ketua Komisi III DPR RI, Herman Herry, mengapresiasi Kementerian Hukum dan HAM atas penuntasan ekstradisi pelaku pembobolan kas BNI Maria Pauline Lumowa dari Serbia.

"Tentu kita harus mengapresiasi pendekatan yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM dan Menteri Yasonna Laoly yang melakukan diplomasi hukum terhadap otoritas Serbia sehingga ekstradisi ini terwujud," ujar Herman dalam keterangan pers kepada wartawan yang diterima di Jakarta, Kamis.

Herman menambahkan bahwa proses ekstradisi itu juga tak lepas dari sinergi yang baik antara sesama lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan atas upaya terpadu dalam proses penegakan hukum kepada Maria Pauline Lumowa.

Padahal, menurut Herman, proses ekstradisi ini juga tidak mudah dan bahkan sempat ditolak oleh Belanda. Kabar ini dinilai angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia.

"Keberhasilan mengekstradisi Maria Pauline Lumowa ini juga merupakan bukti komitmen dan kehadiran negara dalam penegakan hukum. Ini sekaligus memberi pesan bahwa negara tidak akan berhenti melakukan penindakan terhadap siapa pun yang melakukan tindak pidana di negeri ini," ujar kata lelaki asal Ende, Nusa Tenggara Timur tersebut.

Kini, Herman Herry berharap lembaga penegak hukum dapat menyelesaikan proses peradilan terhadap Maria Pauline Lumowa dan menuntaskan kasus ini secara menyeluruh.

Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020