Jakarta (ANTARA News) - Mabes Polri, Kamis malam menolak kunjungan empat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang datang untuk membesuk dua pimpinan KPK nonaktif Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang kini ditahan.
Mereka adalah Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, tiga Wakil Ketua KPK Mas Achmad Santosa, Waluyo, dan M Yasin.
Sedangkan Wakil Ketua lainnya yakni Hayono Umar tidak terlihat datang ke Mabes Polri.
Kedatangan mereka ke gedung Badan Reserse Kriminal Polri hanya sekitar 15 menit karena Polri tidak mengizinkan untuk membesuk Chandra dan Bibit yang ditahan sejak Kamis sore.
Saat keluar dari gedung Badan Reserse Kriminal, mereka juga enggan memberikan keterangan kepada wartawan dan langsung masuk ke dalam mobil.
Kedatangan mereka diikuti oleh belasan simpatisan yang sama-sama tidak bisa membesuk Chandra dan Bibit.
Kepala Biro Hukum KPK Khadir Ramli secara singkat menjelaskan bahwa pimpinan KPK tidak bisa menemui kedua tersangka.
"Mereka tidak mendapatkan izin," katanya.
Pengacara Chandra dan Bibit, Ahmad Rifai juga membenarkan bahwa empat pimpinan KPK tidak bisa menemui Chandra dan Bibit.
"Saya tidak tahu, mengapa mereka tidak diizinkan bertemu dengan kedua klien saya," katanya.
Wakil Direktur Pidana Korupsi dan White Collar Crime Badan Reserse Kriminal Polri Kombes Pol Benny Makalau enggan memberikan penjelasan.
"Saya diperintahkan untuk tutup mulut," katanya.
Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Irjen Pol Dikdik Mulyana Arif Mansur malah mengaku tidak tahu jika empat pimpinan KPK datang ke Mabes Polri.
"Jika mereka ingin bertemu tahanan, maka tentunya akan dikoordinasikan dengan penyidik. Sebagai penyidik, saya kok tidak ada pemberitahuan dari mereka," katanya.
Ia mengatakan, menjenguk tahanan ada aturannya selain harus mendapatkan persetujuan oleh penyidik.
Polri sejak Kamis sore menahan Chandra dan Bibit terkait kasus penyalahgunaan wewenang.
Penahanan selama 20 hari itu dilakukan berdasarkan alasan obyektif dan subyektif.
Alasan obyektif antara lain ancaman hukuman di atas lima tahun serta telah terpenuhinya alat bukti yang cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka.
Sedangkan alasan subyektif adalah agar tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti dan agar tidak mengulangi perbuatannya.
Menurut dia, pascapenetapan sebagai tersangka beberapa waktu lalu Polri mengalami hambatan dalam penyidikan seiring dengan adanya tuduhan terjadi kriminalisasi KPK dan upaya mengkerdilkannya.
"Tersangka malah bisa menggelar jumpa pers selama ini dan ini bisa mempengaruhi opini publik," ujarnya.
Sejak menjadi tersangka kasus penyalahgunaan wewenang, Chandra dan Bibit serta tim pengacaranya beberapa kali memberikan pernyataan pers yang menyatakan adanya rekayasa atas penetapannya sebagai tersangka.
Mereka juga mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meminta agar aturan soal pemberhentian sebagai pimpinan KPK dicabut.
Beberapa hari ini, di media massa beredar transkrip rekaman pembicaraan antara pejabat Kejaksaan Agung, pejabat Polri dan sejumlah nama yang akan mengkriminalisasi kedua pimpinan KPK.
Isi rekaman itu sangat menyudutkan pejabat Kejaksaan Agung dan Polri.
Saat menjalani wajib lapor Kamis siang, Polri menahan keduanya dengan alasan untuk kepentingan penyidikan.
Chandra dan Bibit menjadi tersangka kasus permohonan pengajuan cekal terhadap Anggoro Wijoyo dan Djoko Chandra.
Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Nanan Soekarna bahwa kedua pimpinan KPK itu tidak menggunakan mekanisme yang benar dalam mengajukan permohonan cekal yakni melalui rapat pleno.
Menurut Nanan, pengajuan cekal tidak boleh dilakukan atas keputusan satu atau dua orang tetapi dilakukan secara bersama-sama karena pimpinan KPK bersifat kolektif.
"Tindakan yang tidak dilakukan secara kolektif oleh pimpinan KPK merupakan tindak pidana," katanya.(*)
Pewarta: Luki Satrio
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009