Direktur Utama TubanPetro Sukriyano mengatakan, kilang TLI mendapat pasokan bahan baku dari gas buang hasil proses produksi TPPI yang kemudian diproses menjadi elpiji.
"Jika tidak ada pabrik elpiji, maka kapasitas produksi yang saya sebutkan tadi, hanya akan terbuang ke udara. Sementara jika diintegrasikan, dapat diubah menjadi elpiji, hasilnya dapat dijual di dalam negeri sehingga mengurangi impor," ujar Sukriyano.
Pabrik elpiji TLI mampu memproduksi LPG (Liquified Petroleum Gas) sebanyak 20 ton per jam. Alhasil dalam sehari mampu memproduksi elpiji sebanyak 480 ton. Sehingga produksi dalam setahun dapat mencapai 175.200 ton.
Sukriyanto menambahkan, saat ini TubanPetro sebagai perpanjangan tangan Pertamina berkomitmen untuk melaksanakan penugasan Pemerintah untuk melakukan peningkatan kapasitas produksi TPPI melalui Revamp Platformer dan Revamp Aromatik.
Revamp platforming bertujuan meningkatkan kapasitas pengelolaan unit platforming dari 50 ribu barrel perhari menuju 55 ribu barrel per hari. Sedangkan Revamp Aromatik adalah untuk memproduksi 780 ribu ton per tahun paraxylene dari kapasitas saat ini sebesar 600 ribu ton. "Hal ini dilakukan untuk menaikkan pendapatan perusahaan dan memenuhi kebutuhan domestik paraxylene serta menurunkan impor," tambahnya.
Investasi Pertamina
Pertamina melalui TubanPetro telah menyuntikkan modal ke TPPI sebesar 70 juta USD dimana 35 juta USD digunakan untuk sebagian pembiayaan proyek revamping.
Berbagai optimalisasi yang saat ini tengah dilakukan, menjadi bukti bahwa kebijakan restrukturisasi terhadap TubanPetro merupakan langkah tepat. Kini, TubanPetro konsisten melakukan perluasan kapasitas produksi di anak usaha.
“Saat ini proyek penugasan untuk memperbesar kapasitas produksi paraxylene di TPPI terus berjalan. Untuk kapasitas produksi di anak usaha, tidak ada pengurangan sama sekali,” tegas Sukriyanto.
Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2020