Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi, dalam putusan selanya, Kamis, memutuskan untuk mengabulkan sebagian dari permohonan provisi (putusan sela) yang diajukan pimpinan KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, diantaranya menunda keputusan pemberhentian keduanya sebagai pimpinan KPK.
Sebelum menjatuhkan putusan akhir, menyatakan menunda pelaksanaan berlakunya Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3) UU No 30/2002 tentang KPK, demikian Ketua majelis hakim konstitusi Mahfud MD di Gedung MK di Jakarta, Kamis.
"..Yakni pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan, sampai ada putusan akhir Mahkamah terhadap pokok permohonan," kata Mahfud.
Keputusan itu berkonsekuensi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak diperkenankan mengeluarkan surat pemberhentian tetap sebelum perkara yang melibatkan baik Bibit Samad Rianto maupun Chandra M Hamzah itu memiliki putusan akhir berkekuatan hukum mengikat.
MK berpandangan bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (1) huruf c UU 30/2002 melanggar asas praduga tidak bersalah yang diakui dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun dalam instrumen hukum internasional.
"Ketentuan Pasal 32 ayat (1) huruf c UU 30/2002 melanggar hak konstitusional para pemohon (Bibit-Chandra) atas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta perlakuan yang sama di hadapan hukum," katanya.
Selain itu, ketentuan pasal tersebut dinilai MK juga telah membuka peluang bagi kekuasaan eksekutif untuk melakukan intervensi terhadap KPK tanpa kontrol dari cabang kekuasaan yudikatif karena pemberhentian secara tetap pimpinan KPK hanya membutuhkan keputusan Polri dan Kejagung yang berada di bawah kendali presiden.
Namun, MK tidak mengabulkan sebagian permohonan Bibit dan Chandra, yaitu tentang keinginan pimpinan KPK (nonaktif) tersebut agar Polri menunda pelimpahan perkara dan agar pihak Kejaksaan Agung menolak pelimpahan perkara yang melibatkan Bibit-Chandra.
MK tidak mengabulkan sebagian provisi tersebut karena tidak berwenang untuk memerintahkan penghentian, walaupun bersifat sementara, terhadap proses hukum yang sedang berlangsung.
"Bahwa proses hukum yang sedang dihadapi oleh para pemohon adalah proses hukum pidana yang juga menggunakan instrumen hukum pidana yang bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah," kata Mahfud.
Karena itu, ujar dia, MK tidak berwenang memberikan penilaian terhadap proses hukum yang sedang berjalan sehingga MK tidak berwenang untuk memerintahkan baik Polri maupun Kejagung untuk menghentikan sementara proses hukum pidana yang sedang berjalan. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009