Kendal (ANTARA News) - Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Tengah Siti Zamroh mengatakan ayat 2 pasal 113 Undang-Undang (UU) Kesehatan yang sering disebut sebagai `ayat tembakau` dianggap merugikan petani tembakau.
"Ayat itu lambat laun akan mempengaruhi peredaran tambakau yang sudah berbentuk rokok, sehingga mempengaruhi daya jual tembakau dari petani," katanya di Kendal, Senin.
Ayat 2 Pasal 113 UU Kesehatan itu berbunyi, "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya".
Menurut dia, ayat tersebut seakan ada peraturan yang berisi imbauan keras untuk tidak mengkonsumsi makanan atau barang yang berbuat dari tembakau, karena dianggap mengandung zat adiktif dan membahayakan bagi diri sendiri maupun orang lain.
"Kalau tembakau dianggap mengandung zat adiktif, bagaimana nanti nasib ribaun petani tembakau yang tersebar di seluruh Indonesia jika seandainya suatu saat nanti para petani tembakau dilarang menanam tanaman itu karena berbahaya," katanya.
Menurut dia, petani tembakau selama ini secara tidak langsung telah memberi sumbangan atau pemasukan keuangan daerah yang cukup besar kepada negera melalui cukai rokok.
"Baru saja cukai rokok dinaikkan oleh pemerintah, mengapa justru ada undang-undang yang secara tidak langsung memojokkan petani tembakau, yang menyebutkan bahwa tembakau sebagai zat adiktif dan tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat," katanya.
Ia mengatakan kasus hilangnya `ayat tembakau` itu hanya urusan politis, hanya saja jika ayat tersebut ditambahkan dalam undang-undang kesehatan, jelas akan merugikan petani.
"Kalau memang tembakau secara medis merusak kesehatan, solusinya melalui imbauan saja, jangan diundangkan, karena undang-undang sifatnya mengikat," katanya.
Ia menambahkan jika ruang gerak petani tembakau dipersempit melalui undang-undang, petani tembakau akan menjerit karena panennya tidak laku dijual karena ada imbauan pemerintah untuk tidak mengkonsumsi tembakau.
"Seharusnya kalau memang rorok merusak kesehatan, yang dilarang rokoknya, bukan tembakaunya," katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009
kira2 seumpama para penjabat itu mersakan bagaimana hidup menjadi seorang petni, mungkin mereka tidak akan brpikir mengeluarkan undang2 yang secara tidak langsung memberikn pencegahan atau pembatasan tanaman tembakau. gimana tidak seumpama mereka makan ataa mau menggantungkan kebutuhannya pada tanaman tembakau, terus tembakaunya tidak boleh ditanam maka apalah jadinya??? berapa ibu orang akan menganggur???