Perry mengatakan neraca keuangannya tidak terpengaruh dengan adanya langkah burden sharing karena BI memiliki modal yang cukup besar sehingga masih mampu menanggung tambahan beban dari pemerintah.
“Disampaikan di sini bahwa di akhir 2019 kami mempunyai modal Rp216 triliun. Tingginya modal BI serta rasio modal di atas 10 persen tentu saja kami bisa siap berbagi beban untuk tugas kenegaraan,” katanya dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Senin.
Baca juga: Menkeu: Banyak negara berbagi beban dengan bank sentral atasi COVID-19
Perry menuturkan rasio modal yang memadai tersebut akan membuat Bank Indonesia tetap dapat merumuskan kebijakan moneter secara baik dan sesuai kaidah sehingga pihaknya mampu merespon pasar dengan cepat.
“Kami jelaskan bahwa memang ada implikasi ini terhadap keuangan BI, jelas karena extraordinary condition ada implikasi. Tapi modal kami cukup kuat dan tidak akan mempengaruhi bagaimana BI melakukan kebijakan moneter,” katanya.
Tak hanya itu, ia menyatakan bahwa dampak terhadap inflasi pada tahun ini juga tidak akan besar seiring dengan aktivitas ekonomi yang masih melemah.
“Terhadap inflasi dengan Rp397 triliun melalui mekanisme one off tadi (skema burden sharing) kami menakar dampak inflasinya untuk tahun ini tidak terlalu besar karena memang ekonomi kita demand nya yang sangat lemah,” katanya.
Baca juga: Menkeu pastikan langkah berbagi beban dengan BI sesuai tata kelola
Perry memastikan pihaknya bersama Kementerian Keuangan akan terus memantau implikasi langkah burden sharing terhadap stabilitas makro ekonomi secara keseluruhan baik pada inflasi, nilai tukar, dan SBN.
“BI akan menakar dampak terhadap stabilitas nilai tukar dan inflasi. Untuk stabilitas nilai tukar kami berkomitmen menjaga sesuai fundamental dan menggunakan mekanisme pasar,” tegasnya.
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020