Jakarta (ANTARA) - Januari 2016, Meidy Fitranto bersama Faris Rahman mendirikan startup teknologi berfokus pada kecerdasan buatan, artificial intelligence (AI), Nodeflux.
Saat itu, Nodeflux memiliki kantor kecil menyewa rumah di Jalan Kemang dalam, kenang Meidy.
Secara bisnis, menurut Meidy, saat itu sudah lebih mudah bagi sebuah startup untuk berdiri, mengingat telah banyak kisah sukses dari startup pendahulu yang kini telah menjadi unicorn.
"Sebenarnya ekosistem startup di Indonesia lebih cenderung growing, untuk investor, untuk market, confidence levelnya sudah cukup tinggi," ujar Meidy kepada Antara saat ditemui di kantor Nodeflux yang berlokasi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Minggu (5/7).
Memilih fokus pada pengembangan deep learning computer vision, Meidy dan rekannya melihat adanya momentum yang baik, sebab Indonesia masih menjadi pasar yang baru untuk adopsi teknologi tersebut.
Sementara, teknologi tersebut secara global masih terus berkembang dengan penemuan baru, sehingga masih banyak area menarik untuk dicoba eksplorasi, kata Meidy.
Pria kelahiran Jakarta tahun 1988 itu tak memungkiri bahwa modal selalu menjadi kendala saat memulai bisnis. Namun, hal itu bukan yang utama.
Eksplorasi teknologi
Menemukan ide bisnis, menurut Meidy, menjadi proses panjang. Selanjutnya, mencari jalan untuk mengeksekusi ide tersebut juga menjadi tantangan lain.
"Tapi semakin sering kita berpikir tentang idenya, frekuensi kemunculan ide semakin lebih banyak, dan itu menjadi probability untuk menemukan yang pas, itu yang kita lakukan," kata Meidy.
Pada 2017, Nodeflux sempat berubah haluan bisnis, dari platform analitik bergeser pada perusahaan Vision AI, sebelum akhirnya masuk pada tahap eksekusi. Pada tahun yang sama, Nodeflux mendapat pendanaan awal dari PT Telkom Indonesia.
Selanjutnya, pada tahap eksekusi, kedua founder Nodeflux yang memliki latar belakang Teknik Industri Institut Teknologi Bandung juga merasakan banyak tantangan, mulai dari menemukan klien ataupun market yang tepat, soal menyeimbangkan keuangan, hingga mendapat talenta digital untuk mengembangkan produk.
Hingga akhirnya kedua founder yang berteman sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama itu menghadirkan VisionAire, yang secara teknis merupakan "otak dasar" dari implementasi AI Nodeflux.
VisionAire dikembangkan dengan teknologi kecerdasan mesin untuk impelementasi AI di semua fungsi analitik maupun penerapannya dalam menghadirkan solusi untuk menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat.
Teknologi VisionAire dapat digunakan pada sumber perangkat keras apa saja, baik itu CCTV, webcam, ponsel, kamera atau lainnya. Banyak jenis aturan logika yang dapat diterapkan, bahkan dapat dikustomisasi khusus hanya untuk proses bisnis atau kebutuhan klien.
Produk dan layanan Nodeflux mencakup berbagai sektor tidak terbatas pada smart city, termasuk pertahanan dan keamanan, manajemen lalu lintas, manajemen tol, analitik toko (grosir dan eceran), manajemen aset dan fasilitas, serta iklan dan transportasi.
Nodeflux memulai tahun 2018 dengan East Ventures bergabung dalam pendana perusahaan rintisan tersebut. Pada tahun yang sama Nodeflux juga bekerjasama dengan Polri, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Jasa Marga untuk implementasi teknologi,
Berbagai solusi yang dihadirkan Nodeflux di antaranya teknologi pengenal wajah, penghitung dan klasifikasi kendaraan untuk membedakan motor ataupun jenis kendaraan berukuran kecil, menengah dan besar, hingga pendeteksi muka air, yang menunjang solusi smart city.
Nodeflux juga terlibat dalam kegiatan pengamanan Asian Games 2018 dan IMF-World Bank Group Summit 2018.
Baca juga: Nodeflux wakili Indonesia di CeBIT Australia
Baca juga: Nodeflux lengkapi sistem verifikasi data perbankan lewat AI
Baca juga: Rajawali Foundation dan Nodeflux perkenalkan budaya bercerita
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2020