Palu (ANTARA) - Belum berakhir rasa lelah Adi Pitoyo, setelah membangun kembali tempat usaha batiknya yang porak-poranda karena gempa 28 September 2018, kini dia berhadapan dengan lesunya pasar akibat COVID-19.
Tekad dan semangat baru yang ia tanamkan untuk membangun kembali usahanya agar bisa normal lagi seperti dulu, kembali tertekan setelah COVID-19 mewabah, termasuk di Kota Palu.
Kondisi ini memaksa pengusaha batik motif Bomba (motif tenun khas lokal) itu, memutar otak agar ekonomi keluarganya tetap lancar, dan usaha yang ia rintis sejak 10 tahun lalu tetap bisa bertahan di tengah badai corona.
Adi Pitoyo mengaku bingung dengan berbagai informasi tekait COVID-19 yang tidak bisa diprediksi kapan akan berakhir.
"Saya harus ambil tindakan segera dengan melihat peluang bisnis baru yang lebih menjanjikan. Batik tetap saja berjalan apa adanya," katanya, menanggapi lesunya bisnis batik di Kota Palu.
Sebelum gempa menerjang Kota Palu, dalam sehari biasanya ia mengumpulkan omzet Rp15 juta hingga Rp20 juta. Bahkan, jika ada kegiatan berskala nasional di Kota Palu ia bisa meraup omzet hingga mencapai Rp30 juta per hari.
Namun setelah gempa, ia menutup usahanya hampir setahun. Selain karena tempat usaha yang rusak, pangsa pasar juga hancur. Ia bersama istrinya Siti Huzaemah baru saja menata kembali usahanya dalam beberapa bulan terakhir.
Tanda-tanda membaiknya usaha itu pun mulai terlihat, tapi COVID-19 datang dan mewabah. Pasar lesu, bahkan sama sekali tidak ada pesanan.
"Sudah untung kalau sehari itu ada yang beli satu," katanya.
Kondisi terpuruk di bidang bisnis yang sama juga dialami Imam Basuki. Pengusaha batik dan kain tenun Donggala yang tinggal di kawasan UMKM batik dan tenun Jalan Mangga, Palu Barat, itu merasa sangat terpukul setelah di kawasan itu menjadi zona merah COVID-19 setelah ditemukannya satu warga positif COVID.
Kondisi itu tidak saja menghajar pengusaha batik dan tenun Donggala di kawasan UMKM itu, tapi juga ikut memukul para perajin tenun di sentra-sentra tenun di Palu dan Donggala.
Imam bersama pengusaha yang lainnya terpaksa menghentikan sementara pasokan tenun dari sentra-sentara tenun karena permintaan pasar lesu. Mereka tidak berdaya mendobrak pasar karena putusnya jalur transportasi udara ke Kota Palu.
Sementara pasar potensial batik dan tenun Donggala ada di tangan para tamu yang datang ke Palu karena menjadikan kain batik khas Palu dan Donggala itu sebagai oleh-oleh khas lokal.
"Kemarin saya datang menagih di beberapa outlet yang barangnya sudah saya pasok sejak tiga bulan lalu, hasilnya hanya Rp2 juta. Saya mau pasok lagi, mereka menolak. Belum berani terima barang dalam kondisi seperti ini," kata Imam.
Dia mengaku, meski sudah masuk masa normal baru COVID-19, tetapi pasar belum bisa normal. Jika pun ada penjualan, untungnya hanya bisa untuk biaya sehari-hari.
Sudah pasar lesu dan omzet yang hancur, tagihan dari bank juga masih tetap berjalan.
Menurut Imam, beberapa temannya dari anggota Asosiasi Tenun Donggala mengeluh karena bank terus saja datang menagih, seperti tidak memahami jika usaha mereka sedang terkapar.
Mereka sudah berusaha mengajukan keringanan, tetapi beberapa bank beralasan mereka sudah pernah mendapat keringanan sebagai dampak dari bencana gempa 28 September 2018.
"Kami tidak butuh tambahan modal karena kami tidak bisa produksi banyak karena masalahnya sekarang ada pada pasar yang lesu. Kami hanya butuh keringanan pembayaran utang," katanya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Palu Syamsul Syaifudin mengakui akibat COVID-19 hampir semua pelaku usaha di Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah itu terdampak.
Meskipun demikian, kata Syamsul, masih ada sebagian usaha tetap eksis, bahkan mampu melakukan ekspansi pasar sampai ke luar daerah di tengah pandemi corona, salah satunya tepung terigu 'Kribo' khas Palu.
Produk hasil olahan usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) di Kota Palu itu justru menyasar pasar hingga ke Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi Selatan.
Kartika, pemilik usaha tepung terigu Kribo, mengatakan saat ini dirinya memenuhi pasar Makassar 3,5 ton setiap pekannya.
Di tengah COVID-19, Kartika hanya mengandalkan penjualan secara daring hingga akhirnya ia tidak menyangka permintaan sampai ke Sumatera dan Kalimantan.
"Saya sekarang kendala biaya pengiriman. Ongkos kirim terlalu mahal, sehingga kami belum bisa penuhi permintaan dari Sumatera," katanya.
Usaha mandiri yang dibangun Kartika terbilang masih sangat muda. Ia baru memulai usaha tersebut Maret 2018, namun sempat terhenti karena bencana gempa, tsunami dan likuefaksi melanda Kota Palu pada 28 September 2018.
Menghadapi guncangan itu, ia tidak patah semangat. Ia terus berusaha bangkit dengan dukungan suami yang bekerja sebagai pebisnis ayam potong di Kota Palu.
Kartika yang sebelumnya ditunjuk sebagai tim pendamping UMKM di Kota Palu oleh pemerintah kota setempat, akhirnya memilih mandiri setelah tugas pendampingannya berakhir. Ia konsentrasi membangun usahanya yang kini telah mempekerjakan 16 karyawan itu.
Kartika menciptakan tepung terigu kemasan tersebut terdiri dari beberapa varian untuk menjadikan adonan gorengan menjadi segar dan kering (crispy).
Untuk varian premium, kata Kartika, daya segar dan kering bertahan 20 sampai 24 jam.
"Kalau digunakan menggoreng malam ini, sampai besok malam masih tetap segar dan kering. Itu keunggulan produk kami," katanya.
Untuk varian biasa, daya tahan segar dan kering lima sampai enam jam.
Selain daya tahan keringnya yang lama, tepung kemasan Kribo ini juga memiliki sejumlah varian rasa, seperti keju, manis dan pedas.
"Biasanya orang Palu sukanya yang pedas, sehingga kalau dipakai menggoreng pisang itu rasanya pedas," katanya.
Kartika berharap tepung Kribonya tersebut bisa menembus pasar seluruh Indonesia, seperti halnya produk tepung lainnya yang telah lama menguasai pasar.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020