Jenewa (ANTARA) - Hampir 30 persen dari data rangkaian genom sampel virus COVID-19 yang dikumpulkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan ada tanda mutasi, namun tidak ada bukti bahwa mutasi menyebabkan penyakit yang lebih parah, kata pejabat tinggi WHO, Jumat (3/7).

"Saya rasa cukup luas," kata kepala ilmuwan WHO, Soumya Swaminathan kepada Reuters di sela-sela pelaporan singkat yang diadakan oleh perhimpunan jurnalis PBB, ACANU di Jenewa.

PBB sejauh ini telah mengumpulkan 60.000 sampel COVID-19, katanya.

Para ilmuwan di Scripps Research, Juli, menemukan bahwa pada April virus yang bermutasi menyumbang sekitar 65 persen kasus yang dilaporkan dari seluruh dunia ke bank data utama.

Mutasi genetik pada virus corona jenis baru, yang dinamai D614G, secara signifikan meningkatkan kemampuannya untuk menginfeksi sel dan mungkin menjelaskan mengapa wabah di Italia utara dan New York menjadi lebih luas dibandingkan yang terlihat sebelumnya, menurut temuan riset.

Maria Van Kerkhove, pembimbing teknis pandemi COVID-19 di WHO, pada Jumat mengatakan bahwa genus yang bermutasi telah ditemukan pada awal Februari dan telah beredar di Eropa dan Amerika.

"Hingga kini tidak ada bukti bahwa mutasi menyebabkan penyakit menjadi lebih parah," katanya.

Sumber: Reuters

Baca juga: Ahli: Virus Corona lebih lambat bermutasi dibanding virus influenza

Baca juga: Virus Corona Indonesia berbeda dengan tiga tipe utama dunia

Baca juga: LIPI: Laju mutasi coronavirus tergolong cepat picu virus jenis baru

Presiden nilai uji sampel COVID-19 masih jauh dari target

Penerjemah: Asri Mayang Sari
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020