Kami berharap pemerintah mewujudkannya agar rentang harga rokok makin sempit, sehingga konsumen tidak bisa beralih ke rokok murah

Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Universitas Indonesia Abdillah Hasan mengharapkan pemerintah bisa kembali merealisasikan kebijakan penyederhanaan atau simplifikasi struktur cukai hasil tembakau sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 sebagai salah satu program strategis.

Menurut Abdillah, melalui simplifikasi cukai, target pengendalian tembakau demi kesehatan masyarakat yang tercantum dalam RPJMN dapat lebih mudah tercapai.

"Dengan pencantuman simplifikasi cukai dalam RPJMN, kami berharap pemerintah mewujudkannya agar rentang harga rokok makin sempit, sehingga konsumen tidak bisa beralih ke rokok murah," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.

Baca juga: Pemerintah didesak revisi aturan soal "diskon rokok"

Dengan skenario tersebut, lanjutnya, harapan pemerintah untuk menurunkan tingkat konsumsi rokok di Indonesia pun bisa terwujud.

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (LDUI) mengaku telah mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan simplifikasi struktur cukai rokok sejak 2017 lalu.

Manajer Informasi Kependudukan LDUI Nur Hadi Wiyono menjelaskan struktur cukai yang sistemnya berjenjang dan memiliki banyak lapisan (layer) dinilai membuka celah pelanggaran kebijakan cukai.

"Kita sudah usulkan pada pemerintah sejak 2017 untuk melakukan usaha simplifikasi cukai, agar dilakukan penyederhanaan secara bertahap," ujarnya.

Simplifikasi struktur cukai secara bertahap sebelumnya memang telah tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, yang mencanangkan simplifikasi struktur cukai rokok dari 12 layer pada 2017 menjadi lima layer pada 2021.

Dalam PMK tersebut, dijelaskan bahwa penyederhanaan dilakukan dalam rangka optimalisasi penerimaan cukai hasil tembakau, meningkatkan kepatuhan pengusaha pabrik, serta penyederhanaan sistem administrasi di bidang cukai.

Namun, baru setahun berjalan, kebijakan simplifikasi itu justru dibatalkan melalui terbitnya PMK 156/2018 yang tidak lagi memasukkan penyederhanaan layer dalam ketetapan tarif cukai.

Direktur Jenderal Bea Cukai Kemenkeu Heru Pambudi dalam keterangannya saat itu menjelaskan bahwa pembatalan rencana simplifikasi cukai rokok dilakukan dengan pertimbangan agar perusahaan rokok tetap terus hidup dan bertahan.

Pembatalan simplifikasi yang terjadi pada rencana yang tertera di PMK 146/2017 dan kuatnya keberpihakan pemerintah terhadap industri rokok itu dikhawatirkan kembali terjadi pada rencana simplifikasi cukai yang dicanangkan pada RPJMN 2020-2024.

Dalam rencana RPJMN tersebut, struktur cukai yang saat ini berjumlah 10 layer akan disederhanakan bertahap hingga menjadi 3-5 layer pada 2024.

Tak lama berselang setelah rencana simplifikasi struktur cukai pada RPJMN dipaparkan, suara penolakan terhadap rencana simplifikasi cukai kembali riuh didengungkan industri rokok.

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mengaku keberatan apabila simplifikasi diberlakukan. Gappri berharap pemerintah tidak akan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang justru menghambat pemulihan industri seperti kenaikan cukai, simplifikasi struktur cukai, dan revisi PP 109/2012.

Abdillah menilai saat ini yang sebenarnya diperlukan untuk memastikan pemberlakuan rencana simplifikasi dan tujuan pengendalian tembakau dalam RPJMN dapat tercapai ialah komitmen pemerintah yang kuat terhadap kesehatan masyarakat, sehingga dapat menepis dugaan adanya intervensi dari industri rokok.

Senada dengan Abdillah, dukungan terhadap simplifikasi cukai juga disampaikan Bank Dunia.

Baru-baru ini, Bank Dunia dalam Kajian Belanja Negara Indonesia berjudul "Spending for Better Result" merekomendasikan agar pemerintah kembali menjalankan penyederhanaan struktur cukai hasil tembakau yang sempat terhenti.

Menurut Bank Dunia, reformasi di bidang cukai hasil tembakau akan mampu memberikan kontribusi terhadap ruang fiskal hingga 0,7 persen dari PDB.

Angka itu lebih besar dibandingkan jika pemerintah melakukan penghapusan subsidi energi dan penghapusan pembebasan pajak pertambahan nilai yang masing-masing hanya berkontribusi 0,4 persen dan 0,2 persen dari PDB.

Baca juga: Pabrik rokok dapat penundaan bayar cukai Rp18,1 triliun imbas COVID-19
Baca juga: Pendapatan negara berpotensi hilang Rp1,26 triliun dari "diskon rokok"

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020