"Buktinya, Pemda dan DPRD lebih mengedepankan ritual demokrasi dari pada substansi demokrasi itu sendiri," katanya pada acara diskusi sehari bertema "Upaya-Upaya Daerah Dalam Mewujudkan Local Governance di Mataram, Sabtu.
Menurut dia, indikator lain dari belum tercapainya demokratisasi pemerintahan adalah peranan DPRD sebagai legislatif daerah lebih mengedepankan tuntutan akan hak-hak mereka sebagai anggota DPRD.
Pada acara yang diselenggarakan Sekretariat Wakil Presiden RI bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Provinsi NTB itu, Asmawi mengatakan, sisi pemberdayaan belum terjadi check and balances yang sehat, namun kolaborasi eksekutif dan legislatif daerah untuk kepentingan kelompok masyarakat lebih diperankan sebagai instrumen mobilitas dukungan terhadap elit lokal.
Ia mengatakan, bukti lain belum terwujudnya demokratisasi pemerintahan adalah masih terjadi pro-kontra terhadap isu sentral daerah terkait dengan kepentingan elite lokal dan penolakan hasil pilkada, impeachment, penolakan atas suatu kebijakan baik dari pusat maupun daerah tanpa pemahaman.
Sementara itu, katanya, kalau dilihat dari sisi tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif tidak ada perubahan signifikan.
"Ini terbukti belum jelasnya pembagian kewenangan mengurus urusan pemerintahan antar tingkatan pemerintahan," ujarnya.
Selain itu, kata Asmawi, meningkatnya over head cost dan belanja rutin birokrasi, 95 persen dana alokasi umum (DAU) berasal dari dana perimbangan dan kecenderungan terjadinya misalokasi serta lemahnya supervisi dan fasilitasi pusat dan lemahnya sumber daya manusia (SDM) aparatur daerah.
Menurut Asmawi, kondisi itu mengakibatkan sering terjadi saling tuding atau saling menyalahkan. Pihak daerah menilai pusat setengah hati dalam dalam memberikan dana perimbangan dan sebaliknya, pusat menilai daerah kebablasan.
Di samping itu, katanya, terjadi proses pembusukan kebijakan otonomi daerah dan membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Dan otonomi daerah menjadi obyek yang dipersalahkan," katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009