"Masup kandang kambing, ngembek; masup kandang kebo, ngelenguh," demikian ungkapan dalam peribahasa Betawi yang merupakan nasihat agar seseorang dapat menyesuaikan diri dengan tempat dia tinggal.
Jadi, siapa pun yang tinggal di Jakarta, tempat tinggal masyarakat Jakarta asli atau Betawi, maka dinasihatkan untuk menyesuaikan diri, antara lain dengan memahami bahasa yang digunakan di wilayah itu yakni bahasa melayu Jakarta atau melayu Betawi.
Untuk membantu masyarakat memahami bahasa melayu Betawi atau bahasa Betawi maka saat ini mereka tidak perlu bingung lagi karena sudah ada panduannya, dalam bentuk sebuah kamus, yakni Kamus Dialek Jakarta dan Kamus Ungkapan dan Peribahasa Betawi.
Kamus "2 in 1" yang diterbitkan oleh penerbit Masup Jakarta telah diluncurkan secara resmi oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dalam sebuah acara di Puri Agung, Pemda DKI Jakarta, pada akhir Juli 2009, yang dihadiri banyak kalangan, khususnya tokoh-tokoh masyarakat Betawi.
Kamus yang merupakan edisi revisi itu disusun oleh Abdul Chaer, orang Betawi yang juga pengajar bahasa Indonesia di perguruan tinggi. Kamus tersebut pertama kali diterbitkan pada 1976 dengan penulis yang sama. Berbeda dengan kamus yang pertama, kali ini kamus tersebut dilengkapi dengan kamus ungkapan dan peribahasa Betawi.
Mengapa kamus itu dinamakan Kamus Dialek Jakarta, bukan Kamus Dialek Betawi? Menurut Abdul Chaer, karena kamus tersebut tidak hanya memuat kata-kata yang digunakan oleh orang Betawi, tapi juga yang digunakan warga Jakarta dan sekitarnya secara keseluruhan.
Dalam kamus "2 in 1" itu, selain pembaca dapat mengetahui tentang makna sebuah kata, juga memperoleh penjelasan selintas tentang asal bahasa Betawi yang digunakan oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
Di kamus itu antara lain dijelaskan bahwa secara historis linguistik, alat komunikasi verbal yang disebut bahasa Betawi sebenarnya hanyalah sebuah dialek regional dari bahasa Melayu.
Karena merupakan dialek regional dari bahasa Melayu, maka banyak persamaannya dengan bahasa Melayu umum atau bahasa Indonesia. Namun demikian, ada juga perbedaannya, terutama dilihat dari segi lafal dan sejumlah kosa kata.
Dijelaskan juga bahwa bahasa Betawi bukanlah bahasa yang mandiri. Meski demikian, fakta bahwa bahasa Betawi digunakan oleh sekelompok masyarakat yang tinggal di wilayah yang merupakan ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Abdul Chaer dalam pengantarnya menulis, kamus tersebut disusun dengan maksud, pertama untuk melengkapi kepustakaan bahasa Betawi yang sudah ada; kedua, untuk mendokumentasikan salah satu khazanah Betawi yaitu ungkapan-ungkapan bahasa Betawi yang kini telah banyak tidak dikenal orang.
"Generasi muda Betawi saja kini telah banyak yang tidak tahu makna-makna ungkapan seperti `kematian obor`, `kedebong anyut` dan `ngejemur kunut`," kata Abdul Chaer.
Sementara itu, Harimurti Kridalaksana dalam pengantarnya mengatakan, kamus tersebut mempunyai dua manfaat.
Pertama, manfaat ideil karena merupakan usaha untuk memelihara salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia. Kedua, manfaat praktis karena berguna bagi setiap orang yang ingin tahu lebih banyak tentang dialek Melayu Jakarta yang makin besar peranannya itu.
Karya besar
Ahli lingustik dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Bambang Kaswanti Purwo, berpendapat, Kamus Dialek Jakarta ini adalah salah satu dari enam karya besar mengenai dialek Jakarta atau dialek Betawi yang terdiri atas empat disertasi dan dua kamus. Salah satu dari penulis kamus itu adalah putra Betawi yakni Abdul Chaer.
Bagi Bambang, yang bukan merupakan penutur Betawi, kamus ini membantunya dalam memahami dan bagaimana membaca kata seperti "sebel" atau kata "bebek" dan artinya.
Ia juga memahami arti merejeng yang artinya menangkap dan memegang, tapi kegiatannya tidak dapat dilakukan seorang diri, harus dilakukan oleh banyak orang.
"Setahu saya, ini kata khas Betawi, tidak ada padan kata ini dalam bahasa Indonesia," katanya.
Ia juga mengatakan, sangat terbantu memahami sejumlah kata karena banyak yang (agaknya) berasal dari bahasa Jawa seperti wareg, bae, dan ora.
Hanya saja, menurut dia, dia tetap tidak dapat menangkap apa arti kata "pada". Di dalam bahasa Jawa ada kata "pada" yang dipakai untuk menandai bahwa yang melakukan adalah banyak orang.
Ia mencatat masih ada sejumlah kata yang tidak tercetak dalam kamus ini, seperti kata "pada", "bari", "bletak-bleneng", dan "adah".
Bambang juga menyatakan kebingungannya untuk memahami kata "tau" karena dapat diartikan ganda yakni berarti "tahu" seperti dalam kalimat "Aye tau nyang die mao ame aye" atau "tidak tahu" seperti dalam kalimat "Tau tu, aye juga kurang jelas".
Untuk sementara ia menyimpulkan bahwa apabila kata "tau" itu tidak berdiri sendiri, misalnya didahului oleh pronomina (seperti "gua", "lu") atau kata modal seperti "udah", negasi (nggak), maka artinya adalah positif. Namun, jika berdiri sendiri, maka maka artinya adalah negatif.
Mungkin benar, belum semua kata atau ungkapan yang digunakan masyarakat belum terekam dalam kamus itu. Karena itu, muncul harapan agar kelak akan ada terbitan Kamus Dialek Jakarta yang lebih lengkap. Bahkan, Bambang Kaswanti Puro mendambakan adanya kamus dalam dua arah, juga dari bahasa Indonesia ke dialek Jakarta.
Namun Jakarta dan warganya telah diuntungkan karena kamus yang komprehensif ini bukan saja dapat menjadi pegangan dalam penggunaan dialek Jakarta yang "ngetren" itu, tapi juga menjauhi pemakainya dari kekacauan "ngomong" Jakarta seperti yang kini banyak terjadi. (*)
Oleh Oleh Ahmad Buchori
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009