Khartoum (ANTARA News/Reuters) - Sejumlah orang bersenjata menculik seorang warga Perancis yang bekerja untuk Komite Internasional Palang Merah (ICRC) di Darfur, Sudan, Kamis, kata organisasi itu dalam sebuah pernyataan.

Darfur dilanda banyak penculikan tahun ini, umumnya dilakukan oleh kaum muda yang menuntut uang tebusan. Dua pekerja bantuan dari badan Irlandia Goal dibebaskan Minggu setelah ditahan 100 hari, sementara dua prajurit penjaga perdamaian PBB-Uni Afrika hingga kini masih disandera.

ICRC menyebut pegawainya yang diculik itu sebagai Gauthier Lefevre dan mengatakan, ia diculik di negara bagian Darfur Barat, sebelah utara el-Geneina dan dekat perbatasan dengan Chad. Badan itu mengatakan, ia pergi naik satu dari dua kendaraan yang bertanda jelas ICRC.

"ICRC saat ini belum memiliki petunjuk mengenai siapa pelaku atau apa motif penculikan tersebut," kata ICRC dalam pernyataan itu.

ICRC mendesak pembebasan segera dan tanpa syarat stafnya yang diculik itu.

Badan-badan bantuan menyatakan, mereka menghadapi permusuhan yang meningkat di Darfur sejak Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Sudan Omar Hassan al-Beshir atas tuduhan melakukan kejahatan perang pada Maret.

Tidak satu pun dari mereka yang bertanggung jawab atas penculikan sebagian besar staf internasional sejak Maret telah ditangkap.

Ketegangan meningkat di Sudan setelah ICC pada 4 Maret mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Beshir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat.

Jurubicara ICC Laurence Blairon mengatakan kepada wartawan di pengadilan yang berlokasi di Den Haag, surat perintah penangkapan terhadap Beshir itu berisikan tujuh tuduhan -- lima kejahatan atas kemanusiaan dan dua kejahatan perang.

Sudan bereaksi dengan mengusir 13 organisasi bantuan dengan mengatakan, mereka telah membantu pengadilan internasional di Den Haag itu, namun tuduhan tersebut dibantah oleh kelompok-kelompok bantuan itu.

Sejumlah pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran badan-badan bantuan itu akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Darfur.

Para ahli internasional mengatakan, pertempuran hampir enam tahun di Darfur telah menewaskan 200.000 orang dan lebih dari 2,7 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka. Khartoum mengatakan, hanya 10.000 orang tewas.

PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur, pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan.

Majelis Ulama Sudan pada 22 Maret mengeluarkan fatwa yang meminta Presiden Beshir yang menjadi sasaran surat perintah penangkapan internasional itu tidak menghadiri pertemuan puncak Arab di Qatar.

Fatwa yang dikeluarkan majelis itu mengatakan, meski Khartoum bersikeras bahwa Beshir akan menghadiri pertemuan Doha pada akhir Maret, presiden Sudan itu tidak seharusnya pergi karena "musuh-musuh negara berkeliaran".

"Karena anda adalah simbol dan pengawal negara... kami merasa kondisinya tidak tepat (untuk menghadiri pertemuan puncak itu) dan tugas ini bisa dilaksanakan oleh orang-orang selain anda," kata fatwa itu.

ICC tidak memiliki wewenang untuk memberlakukan surat perintah penangkapan yang mereka keluarkan, namun para tersangka bisa ditangkap di wilayah negara-negara yang menandatangani perjanjian Roma mengenai pembentukan pengadilan tersebut.

Qatar belum meratifikasi Statuta Roma namun sebagai anggota PBB, negara itu didesak agar bekerja sama dengan pengadilan internasional tersebut.

Selain ada kemungkinan Beshir ditangkap di Qatar, sejumlah pejabat khawatir jet presiden Sudan itu akan disergap oleh armada udara negara lain bila berada di luar wilayah angkasa Sudan.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009