Surabaya (ANTARA News) - Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menengarai pembajak film nasional berasal dari industri rumahan.
"Pembajakan secara industri rumahan berbahaya bagi industri film nasional karena pasar di Indonesia, terutama di kota/kabupaten yang mestinya menjadi potensi pendapatan industri film nasional diambil alih oleh produk bajakan. Ini ancaman industri kreatif kita secara langsung," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Rekaman Video Indonesia (Asirevi), Wihadi Wiyanto, di Surabaya, Kamis.
Sampai sekarang, ia menjelaskan, setiap tahun ada 80 judul film yang diproduksi secara nasional. Padahal tahun lalu hanya ada lima judul film.
"Ibarat lampu kuning, industri film nasional mesti hati-hati jika tidak ingin hancur. Pemicunya adalah pembajakan produk film, kini tidak dilakukan oleh industri besar," ujarnya.
Ia menyatakan, kini pembajakan produk film menjadi lebih mudah sehingga siapa pun di seluruh Indonesia bisa melakukan pembajakan. Untuk itu, saat ini pihaknya sedang membuat program agar produk film tidak bisa dibajak atau digandakan dengan komputer. Program ini menjadi tantangan bagi industri film Indonesia pada masa mendatang.
"Solusi lainnya, kami menjual produk musik atau film original dengan harga murah misalnya untuk VCD musik karaoke kami jual dengan harga Rp10.000,00 per keeping, sedangkan DVD film Rp15.000,00," katanya.
Sementara itu, Sekretaris Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) wilayah Jawa Timur, Rudy Sukamto, ikut mendukung program kampanye Tim Nasional PPHKI.
Pihaknya akan menyebarluaskan program ini kepada para anggota APPBI di seluruh Jawa Timur. Untuk Jawa Timur sendiri, para pedagang yang menjual produk bajakan di mal-mal jumlahnya tidak besar, kini sekitar 15 persen.
"Di sisi lain, saya menolak pandangan bahwa pengelola mal tidak peduli atau melindungi para penyewa (tenant) yang menjual produk bajakan. Sebagai pengelola mal kami sudah memberikan imbauan harus menjual barang yang tidak bertentangan dengan hukum," katanya.
Dalam kontrak, kata dia, secara tegas pengelola mal sudah melarang bagi para tenant yang menjual produk bajakan. Jika ada yang menjual produk bajakan, ia memberikan teguran.
"Kami tidak bisa melakukan lebih dari itu karena menjadi kewenangan aparat penegak hukum," kata Rudy yang juga "General Manager" Hi-Tech Mall Surabaya dengan jumlah tenant 1.000 unit.
Ia berharap, aparat penegak hukum menindak para tenant yang menjual produk bajakan di mal sebab aparat dapat menindak dan membuktikannya secara hukum.
"Secara prinsip kami mendukung proses penyidikan kepolisian jika ada tenant yang terbukti menjual produk bajakan," katanya.
Kepala Perwakilan Business Software Alliance (BSA) Indonesia Donny Sheyoputra, menambahkan, tingginya angka pembajakan membuat daya saing di industri teknologi informasi (IT) di Indonesia menjadi sangat rendah.
Ia mengutip sebuah survei yang menyatakan bahwa daya saing Indonesia berada di peringkat ke-59 dari 66 negara atau untuk kawasan Asia Pasifik Indonesia berada di peringkat ke-15.
"Dengan kata lain Indonesia tidak hanya bisa mengandalkan sumber daya alam, tapi juga harus sumber daya manusia (human capital) untuk bisa maju seperti negara-negara besar," katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009
1. penggunaan sofware bajakan yang marak di sekolah yang diajarkan ke pada siswa-siswa. ini mendidik anak cuc kita menjadi bermental pembajak. jadi harap maklum karena \"gurunya ya mbajak siswa pembajak\"
2. kurang seriusnya pemerintah(mendisnas) dalam sosialisasi program \"open source\"(linux ,etc). serta kurangnya diklat/kursus tentang sofware open source dan tidak ada larangan secara tegas bagi sekolah yg masih menggunakan soft bajakan