Jakarta (ANTARA News) - Orang bertanya-tanya ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut nama Endang Rahayu Sedianingsih sebagai Menteri Kesehatan yang baru, siapa gerangan figur baru yang tiba-tiba muncul ini.

Sebelumnya, nama Endang tidak pernah disebut dalam daftar nama calon menteri yang diuji Presiden. Hingga Rabu sore, sebagian besar orang mengira posisi yang sebelumnya ditempati Siti Fadilah Supari itu akan diisi istri mantan Menteri Kesehatan Farid Anfasa Moeloek, Nila Djuwita Anfasa Moeloek.

Namun "selendang" ternyata dijatuhkan ke pundak Endang, peneliti utama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Rabu (21/10) pukul 14.00 WIB, Sekretaris Kabinet yang sekarang menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menghubungi Endang untuk menyampaikan keputusan Presiden dan kemudian dia langsung diwawancarai Presiden.

"Saya berterimakasih karena diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas ini. Tadi sore sudah bertemu Presiden, beliau menyampaikan harapannya terhadap saya sebagai menteri kesehatan yang baru. Sudah ada arahan juga dari beliau," katanya.

Alumnus Universitas Indonesia dan Universitas Harvard, Amerika Serikat, itu mengatakan bahwa dia kan melakukan reformasi di sektor kesehatan setelah menjabat.

"Berbagai upaya yang ada harus dimajukan. Saya akan fokus pada pencegahan dari hulu ke hilir. Jadi tidak hanya terapi yang akan dilakukan, tapi juga promosi," kata ibu dari dua putra dan satu putri itu.

Dokter yang pernah bekerja di Puskesmas di Nusa Tenggara Timur selama 2,5 tahun itu juga akan berusaha mempercepat pencapaian target Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) bidang kesehatan, termasuk di antaranya menurunkan angka kematian ibu dan anak, angka kekurangan gizi dan tingkat penularan penyakit.

"Kita harus berupaya mencapai sasaran MDGs, dan bila mampu melampauainya," ujarnya.

Menaruh Harap


Pada penghujung masa jabatannya, Siti Fadilah Supari berharap penggantinya melanjutkan program kesehatan yang sudah dia rintis, terutama program jaminan pelayanan kesehatan bagi 76,4 juta penduduk miskin melalui Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Siti yang saat menjadi menteri berani melawan dominasi WHO dalam pertukaran virus sehingga organisasi kesehatan dunia itu kemudian merevisi kebijakannya dan menyoal keberadaan laboratorium riset Angkatan Laut Amerika Serikat (Naval Medical Research Unit/NAMRU-2) di Jakarta itu, ingin program tersebut diperluas cakupannya.

"Dan mudah-mudahan siapa pun yang memimpin bisa meneruskan program yang betul-betul prorakyat, yang berbeda penuh dengan program yang dulu. Kita betul-betul memikirkan kebutuhan rakyat," katanya serta menambahkan upaya promotif dan preventif juga mesti dilanjutkan dan ditingkatkan.

Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan Lily S Sulistyowati pun berharap, program-program kesehatan yang saat ini sudah terlaksana tetap diprioritaskan oleh menteri yang baru.

"Kami berharap, sebagai menteri yang baru dia menjalankan kebijakan dan program yang sifatnya menyeluruh. Tentunya dengan menjadikan upaya promotif dan preventif sebagai prioritas utama," ujar Hikmandari, kepala Sub Direktorat Hubungan Media pada Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan.

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zaenal Abidin berharap, menteri yang baru menerapkan kebijakan dan program kesehatan yang tidak berorientasi pada penyelesaian masalah yang ada di hilir, tapi bergeser ke hulu.

"Pembangunan sarana saya pikir sudah cukup. Kini saatnya bergeser ke hulu dengan memperkuat upaya promotif dan preventif. Yang dibutuhkan bukan hanya sibuk mengobati yang sakit, tapi mencegah orang agar tidak menjadi sakit," katanya.

Upaya kesehatan yang sifatnya preventif dan promotif, dia menjelaskan, mesti ditingkatkan dengan memperkuat kapasitas tenaga kesehatan dan kader kesehatan yang ada di Puskesmas dan Posyandu.

"Dengan demikian mereka bisa membuat masyarakat tahu apa yang seharusnya dilakukan supaya mereka tidak menjadi sakit," katanya.

Amanat undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional, dia melanjutkan, juga harus segera dilaksanakan.

Pemerintah harus memberikan jaminan biaya pemeliharaan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Mereka harus dipastikan mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan kebutuhan mereka.

"Itu semua harus dijalankan berdasarkan konsep dan sistem yang jelas, jangan serampangan saja," katanya.

Zaenal menambahkan, PB IDI sudah menyiapkan pelayanan kesehatan dengan sistem dokter keluarga yang antara lain digagas oleh Prof Farid Anfasa Moeloek.

Dalam sistem pelayanan dokter keluarga, ia melanjutkan, satu dokter diplot untuk memberikan pelayanan kesehatan hanya kepada 2.500 jiwa di satu wilayah kerja dengan pembiayaan berasal dari iuran masyarakat dengan besaran Rp10 ribu per bulan per orang.

"Sistem itu mengatasi masalah kesehatan dari hulu karena dokter tidak hanya mengobati yang sakit tapi juga membuat masyarakat tahu cara mencegah dan menghindar dari sakit," katanya.

Sementara bagi orang-orang yang tidak terlalu memperhatikan pemilihan menteri dan siapa yang akan mengawal pembangunan kesehatan di negeri ini lima tahun ke depan seperti Mbah Ratna (70), yang penting dia bisa berobat murah saat sakit tanpa prosedur berbelit.

Dengan demikian, perempuan asal Cirebon yang sehari-hari menjual makanan kecil di jembatan bus TransJakarta Rawa Selatan, Jakarta, itu bisa tetap bekerja dan menghasilkan uang untuk menghidupi keluarganya.***3***


Biodata

Nama : Dr.dr.Endang Rahayu Sedianingsih, MPH

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 1 Februari 1955

Jabatan Terakhir : Peneliti Utama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan

Pendidikan : Dokter Umum di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tahun 1979

Master Kesehatan Masyarakat di Harvard University Amerika Serikat Tahun 1992

Doktor Kesehatan Masyarakat di Harvard University Amerika Serikat Tahun 1997

Suami : dr.MJN Mamahit, SpOG(*)

Oleh Oleh Maryati
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009