"Setelah disinkronisasi terdapat tunggakan pajak yang sudah inkrah (memiliki keputusan hukum tetap) Rp2,7 triliun, tetapi didalamnya tidak seluruhnya perusahaan milik negara," kata Sekretaris Menneg BUMN Said Didu di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu.
Sebelumnya Ditjen Pajak menyatakan tunggakan pajak BUMN mencapai Rp19,1 triliun, namun kemudian diralat bahwa tunggakan perusahaan plat merah hanya sekitar Rp7 triliun.
Atas masalah tersebut Kementerian BUMN melakukan klarifikasi dengan mensinkronkan data kedua pihak.
Menurut Said Didu, setelah ditelusuri tunggakan pajak yang masih berperkara seperti TVRI, RS Harapan Kita, Bank Indonesia, Bank Ficorinvest.
Ia mengakui, ada masalah perbedaan persepsi dalam penetapan pajak seperti untuk pajak penggilingan tebu rakyat.
Tetapi Kementerian BUMN sudah mengirim surat ke Menteri Keuangan bahwa perusahaan tersebut tidak pernah dipungut.
Hal yang sama juga terjadi pada perusahaan yang kepemilikan saham BUMN di dalamnya minoritas tetapi dianggap sebagai tunggakan BUMN.
Ia menambahkan, ada juga perusahaan BUMN yang betul-betul menunggak karena tidak memiliki likuiditas seperti PT Survei Udara Penas, Balai Pustaka, Bahtera Adhiguna, Jakarta Lloyd.
Dicontohkannya, tunggakan pajak pada Pertamina terjadi ketika membentuk "perusahaan patungan", perusahaan pengelola sawah pasang surut di Palembang pada sekitar tahun 1970.
Akan tetapi ditambahkan Said, ada juga perusahaan yang sudah bayar pajak dengan bukti setor, tetapi tidak masuk dalam kas bendahara negara.
Ia menjelaskan, untuk menuntaskan masalah tersebut harus dilakukan dua langkah yaitu sinkronisasi kembali, dan kalau penyelesaiannya sangat rumit segera dibahas lagi dengan Depkeu.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009