Apa dasar pemilihannya dan bagaimana rekam jejak perusahaan-perusahaan itu?
Jakarta (ANTARA) - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyoroti aspek transparansi dalam pemilihan 26 perusahaan eksportir benih lobster yang selama ini telah diizinkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"Apa dasar pemilihannya dan bagaimana rekam jejak perusahaan-perusahaan itu? Masyarakat tak ada yang mengetahui hal itu," kata Sekjen Kiara Susan Herawati dalam siaran pers di Jakarta, Kamis.
Susan mengingatkan, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh KKP harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, terutama masyarakat bahari yang hidupnya sangat tergantung kepada sumber daya kelautan dan perikanan.
Selain itu, Susan juga menyampaikan kembali penilaian Ombudsman Republik Indonesia yang menyebut terdapat banyak potensi kecurangan dalam mekanisme ekspor benih lobster tersebut.
"Bahkan, Ombudsman menyebut bahwa izin ekspor benih lobster itu bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan seharusnya mempertimbangkan penilaian tersebut," ucap Susan.
Susan mendesak untuk segera dibuka informasi secara detail 26 perusahaan yang mendapatkan izin melakukan ekspor benih lobster.
Hal tersebut, masih menurut dia, karena perusahaan tersebut dinilai mendapatkan keuntungan paling besar dengan adanya Permen Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12 Tahun 2020. Pada saat yang sama, negara dinilai hanya menerima PNBP sangat kecil sekali.
"Berdasarkan data Bea dan Cukai pada tanggal 12 Juni 2020, PNBP yang diperoleh negara hanya sebesar Rp.15.000 dari 60.000 ekor benih lobster yang diekspor. Angka yang sangat miris sekali. Jika negara hanya mendapatkan Rp.15.000 per 60.000 ekor, maka berapa yang didapatkan oleh nelayan? Fakta ini menunjukkan perusahaan ekspor lobster menang banyak," ungkap Susan.
Berdasarkan hal itu, Kiara meminta Edhy Prabowo untuk membatalkan Permen KP No. 12 tahun 2020 karena dampak buruknya bagi nelayan, keberlanjutan ekosistem perairan, dan perekonomian negara sangat besar.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo meyakini bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa mengontrol pengawasan komoditas lobster, meski ada pihak yang tidak setuju mengenai dibukanya kembali ekspor benih lobster.
Menteri Edhy mengemukakan, alasan utama KKP mengizinkan ekspor benih lobster untuk membantu belasan ribu nelayan kecil yang kehilangan mata pencarian akibat terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56/2016.
Sebagaimana diketahui, peraturan yang muncul pada era Susi Pudjiastuti tersebut melarang pengambilan benih lobster baik untuk dijual maupun dibudidaya.
Menteri Edhy menepis anggapan bahwa Permen KP No.12 tahun 2020 yang mengatur soal ekspor benih lobster condong ke kepentingan korporasi.
"Ekspor ini tidak hanya melibatkan korporasi tapi juga nelayan. Karena penangkap benihnya kan nelayan. Terdapat 13 ribu nelayan yang menggantungkan hidup dari mencari benih lobster. Ini sebenarnya yang menjadi perdebatan, karena akibat ekspor dilarang mereka tidak bisa makan. Mereka tidak punya pendapatan. Ini sebenarnya pertimbangan utama kami," tegasnya.
Selain itu, ujar dia, perusahaan yang mendapat izin ekspor tak asal tunjuk, melainkan harus melewati proses admistrasi hingga uji kelayakan. KKP telah membentuk panitia untuk menyeleksi perusahaan penerima izin.
"Pendaftaran izin ini terbuka. Ada prosesnya, dari mulai berkas hingga peninjauan langsung proses budidaya yang dimiliki. Setelah kelayakannya terverifikasi, baru mendapat izin. Proses ini terbuka, tidak ada yang kami tutupi," ucapnya.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020